Share

UU Mata Uang, Antara Amanah dan Kompromi Bisnis

Petrus Paulus Lelyemin, Okezone · Jum'at 27 Juni 2014 20:02 WIB
https: img.okezone.com content 2014 06 27 20 1005170 Cl5TaCivuD.jpg UU Mata Uang, Antara Amanah dan Kompromi Bisnis (Ilustrasi: Reuters)

JAKARTA - Sejak diberlakukan tiga tahun lalu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang ternyata belum sepenuhnya diterapkan pemerintah. Berbagai pertimbangan telah mendasari langkah kompromi untuk tidak menjalankan amanah undang-undang.

Salah satu hal yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah keharusan seluruh perusahaan entah itu swasta maupun BUMN yang melakukan transaksi di Indonesia harus menggunakan mata uang nasional, Rupiah.

Follow Berita Okezone di Google News

Sayangnya, hingga saat ini, tercatat dalam banyak transaksi yang berlangsung di dalam negeri masih banyak perusahaan yang memilih melakukan transaksi dengan mata uang asing, Salah satu yang paling laku adalah dolar Amerika Serikat (AS).

Menteri Keuangan Chatib Basri mengaku, pihaknya dan otoritas moneter, Bank Indonesia (BI) telah melakukan pembahasan terkait pentingnya penerapan kebijakan tersebut. Namun hingga saat ini, otoritas pengawas nampaknya hingga saat ini belum maksimal menerapkannya.

"Sebenarnya saya dan BI sudah rapat berkali-kali mengenai ini, juga meminta BUMN-nya, tapi kan BUMN enggak di bawah saya," tutur Chatib ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (27/6/2014).

Chatib bahkan menyatakan, pihaknya bersama BI bahkan sudah pernah meminta agar beberapa BUMN yang teridentifikasi melakukan perdagangan dengan mata uang asing untuk dihentikan karena menurut temuan BUMN-BUMN tersebut sebenarnya bisa menggunakan Rupiah.

"Sudah diidentifikasi BUMN mana saja yang pegang valas, yang sebetulnya dia nggak perlu. Karena enggak banyak impornya tapi dia pegang valas. Kita minta semua transaksinya dalam rupiah," ungkapnya.

Dia menjelaskan, beberapa alasan dan pertimbangan telah disampaikan untuk mendasari penggunaan mata uang asing dalam transaksi. Salah satunya adalah, rasio dari nilai tukar mata uang Rupiah.

"Tapi dalam prakteknya dolarnya masih dipakai karena argumennya adalah risiko dari nilai tukar. Kalau revenuenya dalam dolar, ada sebagian utang dolar, dia tuker dalam rupiah lalu ke dolar lagi. Maka ada selisih kurs. Untuk hindari itu, sebaiknya taruh dalam dolar saja," terangnya.

Chatib menjelaskan, angka kebutuhan valuta asing per bulan di dalam negeri mencapai angka yang signifikan, khususnya untuk para eksportir di bidang energi dan perkebunan. "Angkanya BI kebutuhan valas BUMN kalau gak salah hampir mendekati USD30 miliar per bulan. Sekitar segitu," sebutnya.

 

Dirinya berharap dengan adanya kebijakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian terkait penegasan penerapan aturan tersebut dapat menjadi titik terang pemberlakuan undang-undang yang besok 28 Juni, genap berumur 3 tahun itu.

"Gak perlu ada peraturan lagi. Itu sudah jelas bahwa itu harus dipakai. Makanya tinggal dilaksanakan saja. Mulai saja dari pelabuhan dulu," tukasnya.

(rzy)

Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini