Share

Dampak Eksekusi Mati terhadap Hubungan Dagang ke Australia & Brasil

ant, Jurnalis · Sabtu 07 Maret 2015 16:42 WIB
https: img.okezone.com content 2015 03 07 320 1115177 eksekusi-mati-terhadap-hubungan-dagang-ke-australia-brasil-sBgBAJvAwa.jpg Eksekusi mati terhadap hubungan dagang Australia-Brasil. (Foto: Okezone)
JAKARTA – Australia dan Brasil menentang keras eksekusi mati terhadap sejumlah bandar narkoba yang merupakan warga negaranya. Hukuman ini pun tinggal menghitung hari. Warga kedua negara tersebut berada di daftar eksekusi, yaitu Myuran Sukumaran dan Andrew Chan asal Australia serta Rodrigo Gularte asal Brasil.
 
 

Lalu, sejauh apa dampaknya terhadap hubungan dengan Indonesia, khususnya di bidang perdagangan?

Sikap keras Brasil ditunjukkan dengan menolak menerima Duta Besar Indonesia di Brasil, Toto Riyanto, saat akan menyerahkan surat nota kepercayaan.

Sementara Australia mengaitkan bantuan yang diberikan kepada Indonesia pasca-tsunami di Aceh untuk melaksanakan pembatalan pelaksanaan eksekusi mati atas dua warganya.

Selain itu, Negeri Kanguru ingin menukar duo Bali Nine tersebut dengan tiga tahanan asal Indonesia, yakni Kristito Mandagi, Saud Siregar, dan Ismunandar. Upaya terakhir pun dilakukan Australia dengan pemberhentian misi dagang sementara terhadap Indonesia setelah pemindahan dua terpidana mati Bali ke Lapas Nusakambangan.

"Apabila dibandingkan neraca perdagangan Indonesia dengan Australia dan Brasil, lebih menguntungkan kedua negara tersebut. Brasil dan Australia itu yang rugi kalau sampai menghentikan perdagangan dengan kita," ujar Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2014, nilai ekspor Indonesia ke Australia mencapai miliaran dolar Amerika Serikat. Pada Januari, nilai ekspor Indonesia ke Australia tercatat sebesar USD565 juta, Februari USD390 juta, dan Maret USD395 juta.

Pada April, tercatat USD611 juta, Mei USD395 juta, dan Juni USD350 juta. Kemudian pada Juli USD388 juta, Agustus USD305 juta, September USD491 juta, Oktober USD490 juta, dan November USD306 juta.

Sementara nilai impor Indonesia dari Australia tercatat pada Januari sebesar USD377 juta, Februari USD390 juta, Maret USD456 juta, dan April USD503 juta. Lalu pada Mei USD420 juta, Juni USD539 juta, Juli USD488 juta, Agustus USD497 juta, September USD539 juta, Oktober USD540 juta, dan November USD448 juta.

Impor Indonesia dari Brasil yang terbesar pada tahun lalu terdapat di tiga komoditas, yakni kacang kedelai senilai USD 845,83 juta, jagung USD310,95 juta, dan kain katun USD289,86 juta.

Dari data tersebut, lanjut dia, dapat dilihat bahwa Indonesia lebih banyak impor dari Australia dan Brasil. Indonesia merupakan pasar penting bagi kedua negara itu.

"Indonesia lebih banyak impornya daripada mereka mengimpor dari kita. Kedua, hampir tidak ada di dunia ini suatu negara menguasai secara monopoli produk atau jasa tertentu yang tidak bisa didapatkan dari negara lain. Jadi, sekali kita kehilangan pasar, pasti bisa diisi dari sumber lain dan itu merupakan suatu kerugian yang kadang sulit untuk direbut kembali," kata dia.

Apabila Australia dan Brasil kehilangan pasar di Indonesia, sulit untuk merebutnya lagi.

"Kalau soal memprotes kebijakan eksekusi mati di Indonesia yang mereka lakukan? Hal itu tidak perlu kita risaukan, karena itu masalah politik dalam negeri mereka. Sah-sah saja, sebab kalau Kepala Negara Australia dan Brasil tidak mengambil sikap demikian, bisa-bisa mereka yang dilengserkan," ujar dia.

Hal senada juga diungkapkan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel. Dia mengatakan, pengusaha-pengusaha Australia dan Brasil-lah yang membutuhkan Indonesia untuk memasarkan produknya. Jadi, pasar Indonesia merupakan primadona bagi produk-produk eskpor mereka.

Produk Australia di Indonesia yang relatif cukup besar, antara lain, gandum, hewan ternak, gula, briket batu bara, daging beku, aluminium, dan bijih besi. Produk Brasil seperti kacang kedelai, jagung senilai USD310,95 juta, kain katun, dan gula.

Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, mengatakan bahwa Indonesia tidak memiliki kebergantungan dengan Brasil. Produk industri pertahanan yang ditawarkan Negeri Samba dapat diganti dengan produk sejenis dari negara lain, seperti Afrika Selatan, Jerman, dan Prancis.

"Namun, kerenggangan dengan Brasil mempersulit kemitraaan kita di level global. Misalnya, dalam membangun koalisi guna mengimbangi dominasi lima negara (AS, Rusia, RRC, Inggris, dan Prancis) di Dewan Keamanan PBB. Juga, RI akan sulit mendapat dukungan Brasil dalam program pelestarian hutan tropis," ujar dia.

Sebaliknya, dengan Australia, RI memiliki hubungan ekonomi yang lebih dekat, antara lain tingginya investasi mereka di sektor pertambangan dan jasa keuangan. Banyak tenaga kerja RI bermukim di Australia. Sebaliknya, Australia juga menjadikan pasar Indonesia menjadi primadona, terutama di sektor pertanian.

Akibat tingginya saling kebergantungan antara satu sama lain, menurut dia, akan sulit jika Australia mengaitkan hukuman mati atas warganya dengan pembekuan hubungan ekonomi.

Ia menegaskan bahwa walaupun Brasil dan Australia terus memberikan tekanan, RI hendaknya tidak goyah dalam menjalankan hukuman mati tersebut, mengingat sudah adanya keputusan hukum yang berkekuataan tetap.

"Proses hukum yang selama ini dijalankan RI atas kedua narapidana tersebut sudah sangat prosedural, terbuka, dan seluruh prosesnya dikomunikasikan dengan pemerintah mereka masing-masing," kata dia.

Follow Berita Okezone di Google News

(wdi)

Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini