JAKARTA - Harga minyak naik ke tingkat tertinggi lebih dari tujuh tahun pada akhir perdagangan Jumat (Sabtu pagi WIB) dan mencatat kenaikan mingguan keenam berturut-turut karena gejolak geopolitik memperburuk kekhawatiran atas gangguan pasokan di tengah pasokan energi yang ketat.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Maret bertambah 69 sen atau 0,77%, menjadi menetap di 90,03 dolar AS per barel, setelah sempat mencapai 91,70 dolar AS per barel level tertinggi sejak Oktober 2014.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Maret menguat 21 sen atau 0,24%, menjadi ditutup di 86,82 dolar AS per barel, setelah mencapai tingkat tertinggi tujuh tahun di 88,84 dolar AS per barel selama sesi.
Minyak mentah berjangka AS sempat berubah negatif di awal sesi. Pada basis mingguan, kontrak acuan mencatat kenaikan terpanjang sejak Oktober. Untuk minggu ini, minyak mentah WTI dan Brent masing-masing meningkat 2,0% dan 2,4%, mencatat kenaikan mingguan keenam berturut-turut.
"Tidak ada alasan baru untuk menjelaskan lonjakan baru harga minyak mentah: masih ada kekhawatiran tentang gangguan pasokan jika krisis Ukraina meningkat," Carsten Fritsch, analis energi di Commerzbank Research, mengatakan Jumat (28/1/2022) dalam sebuah catatan.
Pasokan minyak yang ketat mendorong struktur pasar enam bulan untuk Brent ke kemunduran tajam 6,92 per barel, terluas sejak 2013. Kemunduran terjadi ketika kontrak untuk pengiriman minyak jangka pendek dihargai lebih tinggi daripada bulan-bulan berikutnya, mendorong pedagang untuk melepaskan minyak dari penyimpanan untuk segera dijual.
Produsen utama di Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutu yang dipimpin oleh Rusia, yang secara kolektif dikenal sebagai OPEC+, telah berjuang untuk meningkatkan tingkat produksi mereka. Pasar juga bereaksi terhadap serangan di Uni Emirat Arab oleh kelompok Houthi Yaman.
Harga mendapat dukungan dari kekhawatiran atas kemungkinan konflik militer di Ukraina yang dapat mengganggu pasar energi, terutama pasokan gas alam ke Eropa.
"Sejauh ini tidak ada gangguan pasokan di Eropa Timur, jadi dugaan premi risiko terkait ketegangan tersebut tidak begitu tinggi," kata analis UBS Giovanni Staunovo. Dia menambahkan beberapa investor masih lebih memilih untuk menahan eksposur mereka.