BALI - Bank Indonesia (BI) menyatakan nilai tukar Rupiah masih bisa tertekan alias melemah. Pada perdagangan sore ini saja, Rupiah melemah 4 poin atau 0,03% ke level Rp14.370 per USD. Bahkan sebelumnya Rupiah sempat menyentuh level Rp14.400 per USD.
Pelemahan Rupiah memang sudah terjadi. Bahkan memasuki level tertinggi sejak Agustus. Namun, mata uang Rupiah masih lebih baik dibandingkan mata uang Malaysia maupun Filipina.
"Perkembangan Rupiah cukup stabil meskipun tekanan cukup besar terutama di kawasan, depresiasi 1,6% ytd. Sementara negara lain bisa sampai 6% kayak Malaysia hingga Filipina", kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo di Nusa Dua, Bali, Jumat (10/12/2021).
Kendati demikian, pihaknya tetap menjaga pasar keuangan tetap stabil dan menjaga stabilitas Rupiah sesuai dengan mekanisme yang berjalan.
"Pergerakan Rupiah cukup stabil," ujar Dody.
BI memastikan berada di pasar untuk menjaga stabilitas Rupiah sesuai dengan mekanisme yang berjalan. Sederet instrumen intervensi juga disiapkan bilamana ada pelemahan terjadi terlalu dalam.
"Ada strategi triple intervention, baik di pasar spot, DNDF dan juga pembelian SBN," katanya.
Di tempat yang berbeda, Pengamat rupiah, Ibrahim Assuaibi mengatakan, dolar AS menguat pada perdagangan Jumat karena para pedagang bertaruh angka inflasi yang lebih tinggi dan pasar tenaga kerja yang ketat dapat memacu The Fed untuk mempercepat pengurangan aset dan menaikkan suku bunga lebih awal dari yang diharapkan.
"Data AS, termasuk indeks harga konsumen jatuh tempo di kemudian hari. Data yang dirilis pada hari Kamis menunjukkan bahwa 184.000 klaim pengangguran awal diajukan sepanjang minggu. Ini adalah jumlah terendah dalam lebih dari 52 tahun, karena kondisi pasar tenaga kerja terus mengetat di tengah kekurangan pekerja yang akut," ujar Ibrahim dalam risetnya.
Selain itu, Pembuat kebijakan Bank Sentral Eropa (ECB) mengikuti peningkatan sementara dalam skema pembelian obligasi reguler yang masih akan secara signifikan mengurangi pembelian utang secara keseluruhan begitu skema memerangi COVID-19 yang jauh lebih besar berakhir pada Maret 2022, menurut Reuters.
Dari dalam negeri, sebelumnya International Monetary Fund (IMF) menuturkan pertumbuhan ekonomi global yang diproyeksikan sebesar 4,9 persen pada 2022 masih berpotensi turun akibat varian Covid-19 baru Omicron.
(Dani Jumadil Akhir)