Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Structural Concerns Masih Menekan Rupiah

Widi Agustian , Jurnalis-Rabu, 22 Mei 2013 |08:09 WIB
<i>Structural Concerns</i> Masih Menekan Rupiah
Ilustrasi. (Foto: Okezone)
A
A
A

DI satu minggu kebelakangan ini, rupiah telah kembali diperdagangkan di sekitaran Rp9.750-Rp9.800 per USD, didorong dengan penguatan dolar Amerika Serikat (AS) yang mendominasi pasar mata uang dunia.

Menguatnya dolar ini telah terjadi karena investor sendiri telah mengantisipasi bahwa bank sentral Fed akan segera mengakhiri program QE3-nya di saat yang bersamaan di mana bank-bank sentral dunia lainnya masih terus menambah jumlah dana yang tersedia di program quantitative easing-nya.

Sebenarnya, kalau kita perhatikan pergerakan nilai mata uang di emerging market (EM) Asia terhadap dolar sejak akhir tahun 2012 lalu, pergerakan rupiah tidak terlalu buruk. Rupiah tercatat menguat sekitar 0,20 persen terhadap dolar, hanya lebih buruk setelah
THB, CNY, dan MYR di EM Asia.

Yang menjadi masalah adalah kenyataan bahwa rupiah telah melemah lebih dari 7 persen di tahun 2012, jauh dari -3,5 persen yang dicatat rupee India sementara semua mata uang EM Asia lainnya malah menguat terhadap dolar. Oleh karena itu, memang pada kenyataannya, Rupiah masih mempunyai banyak ruang untuk melakukan “catch-up”.

Secara teori, kami juga melihat bahwa rupiah masih terkesan undervalued terhadap dolar sebanyak kira-kira 10 persen di saat ini. Walau bagaimana pun, sentimen rupiah di market masih terlihat sangat lemah karena adanya nada cemas tentang current account defisit di Indonesia, yang mungkin bersifat struktural.

Dalam perkiraannya yang terbaru, IMF memprediksikan bahwa current account defisit akan terus terlihat di Indonesia untuk lima tahun ke depan. Hal ini sendiri membuat investor sedikit ragu mengenai prospek rupiah di jangka waktu medium, mengingat bahwa posisi current account merupakan salah satu ukuran fundamental yang sangat penting untuk trajektori nilai mata uang negara tertentu.

Bagaimana pandangan pemerintah atau BI mengenai hal ini? Menteri Keuangan Chatib
Basri baru saja menyatakan bahwa salah satu prioritas beliau pada saat ini adalah
upaya untuk terus menjaga stabilitas rupiah di market.

Tanda-tanda bahwa BI sendiri telah menaikan intensity mereka dalam melakukan aktivitas smoothing di market juga mengindikasikan bahwa bank sentral Indonesia itu mempunyai
pendapat yang kurang lebih sama mengenai rupiah. Intinya, stabilitas merupakan
kunci, dan tidak ada target nilai tukar rupiah di level mana pun, mengingat sentimen
investor global sendiri akan menjadi faktor yang paling menentukan pergerakan dolar  ke depan.

Di saat yang bersamaan, kami juga berpendapat adanya risiko yang besar terhadap prospek perekonomian Indonesia, jika sentimen market terhadap rupiah akan terus melemah. Data pertumbuhan ekonomi di triwulan I yang tercatat sedikit mengecewakan di 6,0 persen yoy telah menunjukan kesan adanya dampak-dampak yang negatif dari melemahnya rupiah terhadap laju pertumbuhan konsumsi dan juga investasi dalam negeri.

Hal ini sendiri sebenarnya tidak mengejutkan kalau kita mengingat bahwa pertumbuhan impor sendiri telah melemah cukup signifikan di beberapa bulan terakhir dan kenyataanya adalah nilai rupiah yang melemah telah menurunkan daya beli konsumen dan juga pemilik usaha di Indonesia.

Melemahnya Rupiah ini sendiri tidak terlalu berdampak kepada laju pertumbuhan ekspor Indonesia karena kebanyakan barang-barang yang diekspor dari Indonesia adalah
komoditas, yang secara fundamental cenderung lebih price inelastic, yang berarti tingkat
konsumsinya tidak terlalu sensitif terhadap pergerakan harganya.

Kalau memang recoveri perekonomian dunia masih belum terlihat mantap, maka ada kemungkinan yang sangat besar kalau laju pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa jadi akan terus menurun jika memang rupiah masih terus melemah. Oleh karena itu, dalam pandangan kami, komitmen dari pemerintah atau BI untuk terus menjaga kestabilan rupiah di market (menghindari perlemahan yang cenderung excessive) bisa dipercayai.

Kami telah mendiskusikan sebelumnya bahwa rencana kenaikan harga BBM merupakan satu
perkembangan yang sebenarnya positif untuk macro risk profile Indonesia dan bisa jadi
membantu posisi current account defisit Indonesia, setidak-tidaknya di jangka waktu dekat ini.

Yang lebih penting (dan yang lebih susah) memang tetaplah upaya memonitori program-program yang akan diumumkan pemerintah untuk mendongkrak upaya peningkatan
produktivitas di dalam negeri, terutama di sektor manufacturing atau industri yang memang telah terkesan terlantar oleh karena adanya commodity boom di lima hingga tujuh tahun terakhir ini.

Gundy Cahyadi
Ekonom OCBC Bank


(Widi Agustian)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement