JAKARTA - Pemerintah diminta lebih transparan terkait usulan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) terutama terkait proyeksi penerimaan APBN di jangka waktu menengah dan panjang.
“Polemik menaikan pajak PPN 15%, memburu orang super kaya dengan 35% Tarif OP dan tax amnesty seharusnya dibingkai dalam kerangka transparansi proyeksi penerimaan negara di masa depan," kata Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan, Jakarta, Sabtu (29/5/2021).
Fadhil berpendapat untuk lebih memahami revisi UU Perpajakan, perlu mengetahui kondisi sesungguhnya anggaran negara baik jangka pendek dan terutama jangka menengah. Biasanya pemerintah biasanya memiliki medium term of government revenue and expenditure yang berisi proyeksi penerimaan dan pengeluaran dalam jangka menengah (lima tahun).
Baca Juga: Sri Mulyani Pastikan Kenaikan Tarif PPN Tidak Berlaku Tahun Ini
“Dalam jangka pendek sebenarnya dengan UU No 2/2020 BI sudah bersedia mendukung pemerintah lewat skema burden sharing untuk memastikan kesehatan dan keberlanjutan dari fiskal. Namun nampaknya, berdasarkan proyeksi jangka menengah, pemerintah masih akan memiliki defisit yang besar dari 3% pada tahun 2023 dan tahun-tahun selanjutnya, di sisi lain BI tidak bisa lagi memberikan dukungan bagi keberlanjutan anggaran pemerintah. Karenanya, diperlukan kebijakan untuk menggenjot penerimaan lewat berbagai instrumen perpajakan," katanya.
Fadhil melihat alasan pemerintah mengajukan RUU KUP karena pemerintah ingin mengambil langkah extra ordinary dan kontroversial melalui peningkatan PPN, penambahan layer baru dalam PPh, dan tax amnesty.