Seto menjelaskan dalam PP dan Permendag tersebut, disebutkan bahwa barang modal bukan baru yang dapat diimpor adalah barang modal bukan baru yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pengembangan ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali atau barang/peralatan dalam kondisi tidak baru dalam rangka pemulihan dan pembangunan kembali sebagai akibat bencana alam, serta barang bukan baru untuk keperluan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Jadi tadi sudah disebutkan itu (impor) bisa dilakukan kalau belum bisa diproduksi di dalam negeri,” ujarnya.
Ketiga, Seto mengungkapkan beberapa alasan teknis yang disampaikan BPKP terkait alasan impor KRL bukan baru yang diajukan PT KCI kurang tepat karena ada beberapa unit sarana yang sebenarnya masih bisa dioptimalkan penggunaannya.
“Saya tidak mau masuk terlalu detail terkait alasan teknis ini, tapi dari BPKP menemukan finding (temuan) seperti itu,” tambahnya.
Keempat, Seto menyampaikan bahwa jumlah KRL yang beroperasi saat ini 1.114 unit, tidak termasuk 48 unit yang aktiva tetap diberhentikan dari operasi dan 36 unit yang dikonversi sementara.
“Overload (kelebihan kapasitas) ini memang terjadi pada jam-jam peak hour (puncak). Namun secara keseluruhan untuk okupansi tahun 2023 adalah 62,75%. Pada 2024 diperkirakan masih 79% dan 2025 sebanyak 83%. Ini data dari BPKP,” katanya.
Berdasarkan laporan reviu BPKP itu juga disebutkan bahwa pada tahun 2019 jumlah armada yang siap guna sebanyak 1.078 unit yang mampu melayani 336,3 juta penumpang. Sedangkan di 2023 dengan jumlah penumpang diperkirakan 273,6 juta penumpang, jumlah armada yang ada adalah 1.114 unit.
“Jadi di 2023 armadanya lebih banyak, tapi estimasi penumpangnya tetap jauh lebih sedikit dibandingkan 2019 yang jumlah armadanya lebih sedikit,” tuturnya.