JAKARTA - Krisis ekonomi 1997-1998 bisa terulang imbas konflik Iran-Israel? Saat ini, memanasnya kondisi geopolitik di Timur Tengah imbas konflik Israel dan Iran beberapa pekan terakhir ini berpotensi membuat makro ekonomi Indonesia terdampak. Kondisi ini rentan terhadap perdagangan luar negeri dan moneter Indonesia.
Ekonom senior Didik J Rachbini mengatakan, memanasnya geopolitik di Timur Tengah tidak bisa dipandang sebelah mata. Dia mengibaratkan, dampak perang Israel-Iran akan seperti air yang menerobos Dubai, membuat aktivitas Uni Emirat Arab (UEA) serentak lumpuh total.
Kondisi Dubai pasca banjir bisa saja dialami Indonesia, bahkan lebih parah lagi yaitu mengulangi kembali krisis moneter pada tahun 1998, bila dampak peperangan kedua negara itu tidak dapat diantisipasi oleh pemerintah saat ini.
Terutama, inisiatif pemerintah menjaga kebijakan perdagangan luar negeri dan moneter. Kedua aspek ini begitu rentan terdampak konflik global.
“Dampak perang ini jangan anggap enteng pemerintah ya, enggak boleh fokus kepada politik, urusan Gibran dan MK saja, dan enggak boleh main-main, perang ini akan seperti air menerobos Dubai ya, itu akan lewat jalur perdagangan luar negeri dan moneter,” ujar Didik yang juga Rektor Universitas Paramadina dalam sebuah forum diskusi, Senin (22/4/2024).
Timur Tengah merupakan mitra strategis Indonesia di sektor energi dan beberapa komoditas, terutama soal minyak mentah dan pasokan bahan baku pupuk. Kawasan tersebut memegang peran penting dalam perdagangan minyak global dan saat ini mulai mengalami hambatan.
Didik memandang, Indonesia perlu menguatkan perdagangan luar negerinya dengan negara Asia lainnya, saat pasar minyak dari Timur Tengah dan Afrika Utara hingga Eropa mulai terhambat.
Indonesia katanya masih memiliki kutub-kutub ekonomi yang perlu dijaga dan ditingkatkan kerjasamanya, sehingga, dampak buruk dari peperangan Timur Tengah terhadap perdagangan luar negeri Indonesia masih bisa diminimalisir.
“Perdagangan Timur Tengah itu memegang komoditas yaitu minyak, karena itu kebijakan yang harus diutamakan. Pertama, walaupun pasar di Afrika Utara jalur ke Eropa terhambat, saya kira ke Amerika juga, kita masih punya kutub-kutub lain,” ujarnya.
“Di Asia sendiri kan tidak terganggu, mitra kita Jepang Itu importir yang sangat besar, mitra kita China itu besar juga tidak akan terganggu. Kemudian India dan lain-lain, kutub-kutub ekonomi itu selain Eropa dan AS, harus tetap dijaga sebagai bagian dari yang harus kita jalankan dalam perdagangan luar negeri,” sambungnya.
Di sisi moneter, efek perang Iran-Israel menimbulkan dorongan inflasi karena naiknya harga energi sehingga tekanan daya beli masyarakat bisa semakin besar. Rantai pasok global yang terganggu membuat produsen harus mencari bahan baku dari tempat lain, tentu biaya produksi yang naik akan diteruskan ke konsumen.
Selain itu, kebijakan suku bunga tinggi akan bertahan lebih lama atau lebih tinggi lebih lama, bahkan ada risiko suku bunga semakin menguat.
“Kebijakan Bank Indonesia, tekanan terhadap inflasi ini besar. Dan apabila ada masalah pada moneter dan BI jebol itu 1997 lagi ya (mengulang krisis). Kalau ini Rp18.000- Rp19.000 (penguatan USD terhadap Rupiah) itu Jokowi bisa jatuh ya, jangan main-main walaupun tinggal beberapa bulan,” tuturnya.
"Karena itu BI ini harus menjaga betul-betul inflasi ini. Kebijakan yang ketiga dan penting adalah fiskal, fiskal ini adalah instrumen yang langsung bisa dipakai. Dari ribuan triliun ini bisa dipakai, enggak boleh jor-joran seperti yang sekarang dilakukan,” katanya.
(Dani Jumadil Akhir)