9,48 Juta Warga Kelas Menengah Indonesia Jatuh Miskin Gegara Kebijakan Ini?

Yaser Rafi Pramudya, Jurnalis
Kamis 12 September 2024 10:10 WIB
Masyarakat Kelas Menengah Turun Kelas. (Foto: Okezone.com/Aldi Chandra)
Share :

JAKARTA - 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia turun kelas dalam lima tahun terakhir. Penurunan ini menjadi sorotan karena dapat meningkatkan jumlah kemiskinan di Indonesia.

Apalagi kelompok calon kelas menengah adalah kelompok sosial ekonomi terbesar di Indonesia. Pada periode 2019-2024, jumlahnya bertambah 8,65 juta hingga menyentuh 137,5 juta orang, atau setara 49,2% dari total populasi.

Kelompok terbesar kedua adalah kelompok rentan miskin. Pengeluaran sebesar Rp582.932 hingga Rp874.398 per bulan.

Selama lima tahun terakhir, jumlah warga rentan miskin bertambah 12,72 juta orang. Per 2024, angkanya mencapai 67,69 juta, atau 24,23% dari total populasi.

Di saat jumlah warga calon kelas menengah dan rentan miskin terus bertambah, penduduk kelas menengah justru kian menyusut.

Sepanjang 2019-2024, warga kelas menengah berkurang 9,48 juta orang menjadi hanya 47,85 juta. Kini, proporsinya hanya 17,13% dari total populasi, turun dari 21,45% pada lima tahun silam.

Semua itu menunjukkan betapa rentannya kelas menengah dan calon kelas menengah Indonesia untuk turun kelas. Demikian dikutip dari BBC Indonesia.

Menurut Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, banyak faktor yang membuat kelas menengah turun kelas. Bukan hanya pandemi Covid, tapi berkaitan juga dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang justru menakut-nakuti kelas menengah.

Mayoritas wacana kebijakan itu, katanya, berkaitan dengan harga-harga yang sebenarnya bisa dikontrol oleh pemerintah.

“Banyak sekali isu-isu yang akan menghantam daya beli kelas menengah. Kelas menengah ini kan rasional, kalau sudah tahu tahun depan tidak akan lebih baik dari tahun ini, mereka akan mengirit dan berhemat,” kata Eko.

Tarif pajak pertambahan nilai (PPN), misalnya, akan naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025 sebagai tindak lanjut terbitnya Undang-Undang No. 7/2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan.

Pada Juni 2024, muncul pula peraturan pemerintah yang mewajibkan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Besar potongan yang akan ditanggung pekerja adalah 2,5% dan rencananya akan berlaku pada 2027.

Tapera menuai kritik dan penolakan luas dari masyarakat. Walau pemerintah sempat menyatakan sepakat menunda implementasinya, hingga kini belum ada peraturan resmi yang benar-benar membatalkan kebijakan ini.

“Tapera itu wacananya saja yang menurun, tapi tidak ada perpres yang membatalkan legal standing-nya. Jadi, nanti 2027 akan berlaku,” kata Eko.

Belum selesai soal Tapera, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melempar wacana bahwa pemerintah akan mewajibkan asuransi kendaraan pihak ketiga (third party liability/TPL).

Wacana itu disebut sebagai tindak lanjut dari terbitnya UU No. 4/2023 tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan (P2SK), yang mengatakan pemerintah dapat membentuk program asuransi wajib sesuai dengan kebutuhan.

Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana memperketat penyaluran subsidi BBM yang dianggap tidak tepat sasaran mulai 1 Oktober 2024.

Eko dari INDEF mengatakan kalau subsidi BBM diperketat, idealnya pemerintah mendorong masyarakat untuk beralih ke transportasi umum.

Namun, dalam kurun waktu berdekatan, para pengguna transportasi umum pun dibuat meradang karena rencana perubahan skema tarif kereta rel listrik (KRL) berbasis nomor induk kependudukan (NIK).

“Sudah sesak tambah dipalak,” begitu bunyi poster penolakan warganet terhadap kebijakan itu.

(Feby Novalius)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya