JAKARTA - PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex telah resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang, Kamis 24 Oktober 2024. Di mana putusan ini setelah Sritex melewati masalah utang dengan nilai jumbo.
Menariknya, di tengah Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan, mencuat kabar bahwa perusahaan tekstil terbesar di Indonesia itu bakal dijadikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kendati kabar ini belum ditanggapi atau dibantah oleh Kementerian BUMN.
MNC Portal sudah mengkonfirmasi informasi tersebut kepada Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo alias Tiko, namun belum juga mendapat respon.
Beredar isu Sritex dijadikan perusahaan pelat merah juga beriringan dengan permintaan Presiden Prabowo Subianto agar Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kementerian Tenaga Kerja mengambil langkah penyelamatan.
Permintaan Kepala Negara ini disampaikan langsung Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita melalui keterangan pers beberapa waktu lalu.
"Presiden Prabowo sudah memerintahkan Kementerian Perindustrian, Kemenkeu, Menteri BUMN, dan Menteri Tenaga Kerja untuk segera mengkaji beberapa opsi dan skema untuk menyelamatkan Sritex," ujar Agus, dikutip Selasa (29/10/2024).
Lantas, perlukah pemerintah menyelamatkan Sritex dan menjadikannya BUMN?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menilai, langkah penyelamatan bisnis emiten yang berpusat di Sukoharjo, Jawa Tengah, itu harus melalui aksi akuisisi.
Hanya saja, proses pengambilalihan tersebut perlu dikaji lebih lanjut, mengingat masalah keuangan dan utang perusahaan saat ini.
“Walaupun nantinya misalkan diakuisisi ini benar? Ya karena kan secara legal hanya bisa begitu, saya sependapat itu untuk dibantu begitu ya. Kalau misalnya ini menjadikan BUMN, ini kan pertama dalam sejarah untuk penyelamatan,” ujar Tauhid ketika dihubungi MNC Portal.
Kajian intensif sebelum diakuisisi pemerintah diperlukan lantaran struktur keuangan Sritex bermasalah. Tauhid mencatat, nantinya Sritex resmi disulap sebagai BUMN, namun tidak ada perbaikan bisnis, maka hanya menjadi bumerang bagi pemerintah di kemudian hari.
“Problemnya adalah harus dikaji apakah kemudian katakanlah dibantu, tapi nggak akan ada perbaikan for perfect, nah itu juga akan menjadi masalah,” ucapnya.
“Berarti kan diubah, harus diambil alih, tapi di dalam manajemennya harus dirubah, bisnisnya, sebagainya. Maksud saya juga itu harus dilakukan, bukan sekedar ‘ini saya kasih uang’, itu rubah, tapi budaya korporasinya mungkin ada yang harus diperbaiki,” lanjut dia.
Tauhid memandang, butuh waktu hingga 5 tahun lamanya untuk kembali menyehatkan perusahaan yang ‘sakit’. Sekalipun, industri tekstil sangat strategis.
“Ini kan benahin yang sakit, benahin yang sakit itu nggak langsung, itu butuh waktu 4-5 tahun,” ungkap Tauhid.
(Taufik Fajar)