Toto menjelaskan, pengembangan kawasan misalnya pembangunan TOD (Transit Oriented Development). Terutama di tempat-tempat yang menjadi titik pemberhentian Whoosh. Hal ini bertujuan untuk menciptakan sumber-sumber pendapatan baru di luar operasional melayani penumpang.
"Pengembangan kawasan otomatis iya (penambahan investasi Danantara) kan misalnya juga beberapa (perusahaan) yang masuk dalam konsorsium KCIC itu juga kan sudah punya akses. Misal ada WIKA, dia punya konsesi pengembangan TOD di Halim misalnya, dan lainnya," ujarnya saat dihubungi Okezone, Jakarta.
Dia mencontoh operator kereta api terbesar di Jepang, JR-East (Japan Railways East) misalnya, yang justru pendapatan terbesarnya bukan dari penjualan tiket kereta tapi pemanfaatan kawasan untuk pengembangan properti, pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya.
"Itu yang menurut saya bisa membantu. Bagaimana kemudian JR-East itu mampu mendapatkan pendapatan konsolidasi yang besar dari pemanfaatan kawasan di luar tiket penumpang," kata Toto.
Namun demikian, menurutnya untuk pengembangan kawasan ini memang diperlukan biaya investasi tambahan. Hal ini yang justru sulit dilakukan oleh PT KAI, selaku kepemilikan mayoritas atas Whoosh. Mengingat beban utang proyek kereta cepat itu sudah cukup besar.
"(Pengembangan kawasan) itulah menurut saya solusi jangka pendek yang bisa diselesaikan kalau misalnya nanti utang investasi kereta cepat ini bisa diambil alih Danantara," sambung Toto.