Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Ekonomi Hancur, Ternyata Ini Orang-Orang yang Danai Perang Israel

Taufik Fajar , Jurnalis-Selasa, 05 November 2024 |08:39 WIB
Ekonomi Hancur, Ternyata Ini Orang-Orang yang Danai Perang Israel
Perang Israel-Hamas (Foto: Okezone)
A
A
A

JAKARTA - Israel telah mengerahkan ribuan serdadu ke Gaza dan Lebanon selatan, melancarkan ribuan serangan udara terhadap musuh-musuhnya dan menghabiskan jutaan dolar dalam sistem pertahanan udara guna mencegat rudal dan pesawat nirawak ke wilayahnya.

Pemerintah Israel memperkirakan bahwa perangnya melawan Hamas dan Hizbullah dapat menghabiskan biaya lebih dari USD60 miliar (Rp944 triliun).

Aksi Israel tersebut telah berdampak serius pada ekonomi Israel.

Seberapa banyak uang yang dihabiskan Israel?

Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, mengatakan kepada Knesset alias parlemen Israel pada September 2024. "Kita berada dalam perang terpanjang dan termahal dalam sejarah Israel," katanya dikutip BBC Indonesia, Selasa (5/11/2024).

Dia menambahkan bahwa biaya aksi militer kemungkinan mencapai antara 200 miliar hingga 250 miliar shekel (antara Rp850 triliun hingga Rp1.070 triliun).

Pengeboman Israel terhadap Lebanon dan serangan militer Israel ke wilayah selatan Lebanon ditambah rudal yang diluncurkan untuk melawan serangan udara dari Iran akan terus meningkatkan biaya perang.

Dr Amr Algarhi, seorang ekonom di Universitas Sheffield Hallam di Inggris, memperkirakan secara kasar biaya aksi militer Israel.

Menurutnya, Israel harus menanggung 350 miliar shekel (Rp1.464 triliun) jika aksi tersebut terus berlanjut hingga 2025.

Angka itu setara dengan sekitar seperenam dari pendapatan nasional tahunan Israel atau dikenal sebagai produk domestik bruto (PDB) yakni 1,99 triliun shekel (Rp8.346 triliun).

Bagaimana Israel mendanai aksi militernya?

Demi mendanai aksi militernya, Bank Israel telah meningkatkan penjualan obligasi pemerintah alias mengambil utang. Bank tersebut mencapai rekor ketika menjual obligasi senilai Rp95 triliun dalam satu kali penerbitan pada Maret 2024.

Obligasi-obligasi tersebut dijual kepada masyarakat di Israel serta diaspora, yaitu orang Yahudi di luar Israel.

Data Bank Israel menunjukkan bahwa khalayak dunia semakin enggan membeli obligasi pemerintah Israel. Bank tersebut mengatakan hanya 8,4% surat utang yang disimpan di luar negeri. Jumlah itu lebih kecil jika dibandingkan dengan 14,4% pada September 2023 sebelum pertikaian Israel dengan Hamas dimulai.

“Hasilnya adalah suku bunga obligasi pemerintah telah naik, guna menarik pembeli asing,” kata Profesor Manuel Trajlenberg, seorang ekonom di Universitas Tel Aviv.

“Ada peningkatan 1,5% dalam biaya pinjaman yang akan dibayar kembali oleh pemerintah," tambahnya.

Selain itu, tiga lembaga pemeringkat kredit internasional utama Moody’s, Fitch, dan Standard and Poor’s telah menurunkan peringkat utang pemerintah Israel sejak awal Agustus 2024.

Lembaga-lembaga tersebut tidak memangkas peringkat Israel karena mereka khawatir pemerintah Israel tidak akan mampu membayar kembali obligasi tersebut, kata Dr. Tomer Fadlon dari Institut Studi Keamanan Nasional yang berpusat di Tel Aviv.

Keuangan publik Israel dalam kondisi yang sehat.

Menurutnya semua lembaga pemeringkat kredit mengatakan dalam laporan mereka bahwa mereka khawatir tentang kurangnya kepastian strategi fiskal [pajak dan pengeluaran] dari pemerintah untuk mengelola pengeluaran hingga tahun 2025.

Profesor Karnit Flug, ekonom di Institut Demokrasi Israel dan mantan gubernur Bank Israel, mengatakan pemerintah sedang mempertimbangkan pemotongan anggaran sebesar 37 miliar shekel (Rp117 triliun) serta kenaikan pajak untuk mencoba menurunkan defisit anggaran pemerintah.

"Namun beberapa langkah yang direncanakan diperkirakan akan menghadapi perlawanan dari serikat buruh, dan dari beberapa anggota koalisi pemerintah," katanya.

Beberapa ekonom mendesak pemerintah untuk menerbitkan APBN tahun 2025 sekarang, dengan serangkaian langkah pasti penghematan untuk mengimbangi melonjaknya pengeluaran militer.

"Tidak ada rencana prioritas pemotongan anggaran yang serius untuk mendanai perang," kata Prof Esteban Klor dari Universitas Ibrani Yerusalem. "Tidak ada strategi ekonomi agar perang berjalan beriringan dengan strategi militer," tambahnya.

(Taufik Fajar)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement