JAKARTA - Emiten PT Bukalapak Tbk ( BUKA ) menghadapi permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh PT Harmas Jalesveva pada 10 Januari 2025.
Permohonan PKPU ini diajukan Harmas melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan Nomor Perkara 2/Pdt.Sus-PKPU/2025/PN Niaga Jkt.Pst (Permohonan PKPU), yang mengklaim Bukalapak memiliki utang berdasarkan Putusan Kasasi No. 2461 K/PDT/2024.
Mengutip keterbukaan informasi BEI, Bukalapak juga mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung atas putusan kasasi itu.
Kuasa Hukum Bukalapak Ranto Simanjuntak mengatakan bahwa gugatan pailit terhadap emiten tersebut ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Gugatan tersebut dibuat oleh PT Harmas Jalesveva.
Adapun dalam gugatan yang diajukan oleh perusahaan itu disebutkan bahwa Bukalapak memiliki utang pada Harmas sesuai Putusan Kasasi No. 2461 K/PDT/2024.
Namun Ranto menilai, hakim tidak bisa memproses gugatan itu karena putusan tersebut tengah diajukan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Menurut dia, PK mengajukan atas perkara perdata antara Bukalapak dan Harmas soal letter of mind (LOI) gedung di One Belpark Office, Jakarta Selatan.
“Kita bisa membantahnya, karena perkara ini masih berproses di pengadilan Perdata. Karena adanya proses tersebut, Pengadilan Niaga belum berhak memeriksa (gugatan Harmas) karena masih prematur,” katanya.
Ia menjelaskan, dalam perkara perdata tersebut, pihak Bukalapak dituding ingkar atas isi dalam letter of intent, di mana emiten BUKA wajib membayarkan uang senilai ratusan miliar Rupiah, karena kontrak yang tidak akan terjadi dengan Harmas, karena adanya penyelesaian dalam pengerjaan gedung di One Belpark Office , sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Namun pada kenyataannya, Ranto mengungkapkan, pihak Harmas menyelesaikan pengerjaan gedung lewat dari kesepakatan waktu yang ditentukan. Sehingga dalam hal ini, Bukalapak mendesak pihak Harmas mengganti sejumlah uang muka yang telah disetorkan ke Bukalapak sebesar Rp6 miliar lebih.
"Tapi kami malah digugat karena dianggap tidak sesuai dengan LOI, dan membatalkan kesepakatan secara sepihak. Padahal kan mereka yang melakukan wanprestasi, karena pengerjaan gedung tidak selesai sesuai dengan waktu yang disepakati. Harusnya di sini Bukalapak yang dirugikan. Makanya dihilangkan PK," jelas Ranto.
Di sisi lain, ia juga menyebut, permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga baru bisa dilaksanakan jika ada batas waktu pembayaran utang yang telah jatuh tempo.
“Sementara karena masih berjalannya proses PK di Pengadilan Perdata, belum ada sesuatu yang bisa disebut sebagai utang. Bagaimana mau memproses PKPU-nya?,” tegas Ranto.
Pada gugatan pailit, Ranto juga mempersoalkan keterlibatan pihak Dirjen Pajak sebagai kreditur, yang merupakan syarat untuk memperkuat adanya utang antara pihak yang bertikai yang telah jatuh tempo.
Menurut Ranto hal tersebut tidak tepat, karena Bukalapak adalah perusahaan yang berjalan dengan baik dan tidak pernah memiliki tagihan ataupun masalah dengan pajak.
“Kalau soal pajak itu sudah menjadi kewajiban, semua perusahaan harus membayarkan pajak. Tapi bukan utang pajak yang harus membayar karena sudah jatuh tempo dan dapat ditagihkan, dan Bukalapak bukan perusahaan yang bermasalah dengan pajak,” tutupnya.
(Taufik Fajar)