JAKARTA - Bank bangkrut di Indonesia kembali bertambah dan kini totalnya menjadi 23 bank hingga Agustus 2025.
Bank bangkrut bertambah usai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Disky Suryajaya yang berlokasi di Jalan Medan–Binjai Km 14,6, Komplek Padang Hijau Blok A No.18, Kabupaten Deliserdang, Sumatra Utara.
Dengan mengeluarkan Keputusan Nomor KEP-58/D.03/2025 pada tanggal 19 Agustus 2025, OJK secara resmi mencabut izin usaha BPR Disky Suryajaya.
Pencabutan ini adalah bagian dari pengawasan regulator yang dimaksudkan untuk memperkuat perbankan dan menjaga stabilitas keuangan nasional.
Setelah izin dicabut, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) langsung menyiapkan skema pembayaran klaim nasabah. Ini memerlukan rekonsiliasi dan verifikasi data simpanan dalam waktu hingga 90 hari kerja, dan dana yang digunakan untuk pembayaran sepenuhnya berasal dari LPS.
Tahun ini, banyak bank yang tumbang, termasuk BPR Disky Suryajaya. Sebelum ini, ada BPRS Gebu Prima di Medan, izinnya dicabut pada April 2025, dan BPR Dwicahaya Nusaperkasa di Batu, Jawa Timur, izinnya dicabut pada Juli 2025.
Ini berarti bahwa hanya dalam tahun 2025, tiga bank resmi telah bangkrut. Tiga bank lainnya juga mengalami hal yang sama izin usaha mereka dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan karena dianggap tidak memenuhi persyaratan yang berlaku.
Semakin ditarik ke belakang, keadaan semakin memprihatinkan.
Sejak 2024, tiga puluh tiga bank di Indonesia telah dinyatakan bangkrut. Sebagian besar BPR berada di seluruh Jawa, Sumatra, Bali, dan Papua Barat.
Nama-nama seperti BPR Wijaya Kusuma, BPRS Mojo Artho Kota Mojokerto (Perseroda), BPR Usaha Madani Karya Mulia, dan BPR Arfak Indonesia termasuk dalam daftar tersebut. Yang terbaru dalam daftar panjang ini adalah BPR Disky Suryajaya.
Rentetan kebangkrutan BPR masih berdampak psikologis, meskipun angkanya lebih kecil daripada bank umum nasional.
Bank BPR dekat dengan masyarakat lokal, terutama usaha mikro dan kecil. Kekhawatiran tentang keamanan dana simpanan muncul seiring penutupan bank-bank ini.
Namun, masyarakat tidak perlu takut. LPS telah menjamin simpanan sesuai ketentuan hingga batas tertentu. Fokusnya adalah pemulihan kepercayaan publik karena, jika kepercayaan publik terganggu, orang mungkin ragu untuk menyimpan dana di BPR dan memilih jalur informal yang tidak aman.
OJK menyatakan bahwa pencabutan izin merupakan bagian dari rencana untuk menjaga industri perbankan tetap sehat, meskipun langkah ini terkesan keras.
Dibandingkan dengan membiarkan bank yang bermasalah beroperasi dan berpotensi merugikan lebih banyak pelanggan, regulator memilih untuk menutupnya.
LPS menjadi garda terakhir untuk menyelamatkan simpanan masyarakat. Kehadiran organisasi ini memastikan dana pelanggan tidak hilang begitu saja meskipun bank ditutup.
Dalam dua tahun terakhir, penutupan tiga puluh tiga bank menunjukkan sinyal serius bagi industri keuangan Indonesia. BPR sering rapuh karena persaingan ketat, tata kelola yang buruk, dan keterbatasan modal.
Diproyeksikan peningkatan manajemen risiko dan digitalisasi layanan perbankan akan sangat penting ke depan karena tanpa keduanya, ancaman kebangkrutan dapat terus menghantui, dan pemulihan kepercayaan publik akan semakin sulit.
Baca Selengkapnya: 4 Fakta Bank Bangkrut di Indonesia Bertambah Lagi, Kini Total 23
(Taufik Fajar)