JAKARTA - Kunci swasembada daging adalah kemampuan peternak untuk mensuplai sapi potong sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Jika dirasa kurang maka untuk meningkatkan populasi secara cepat bisa dilakukan dengan impor sapi indukan besar-besaran untuk merangsang usaha pembibitan di sejumlah daerah.
Saat ini sulit mencari data yang tepat berapa besar kebutuhan daging sapi masyarakat Indonesia dan berapa stok sapi potong yang ada di tangan peternak. Perbedaan data acuan bisa menyebabkan setiap kementerian mengeluarkan kebijakan yang berbeda.
Kementan menyebut total kebutuhan daging sapi pada tahun ini sebanyak 490.000 ton sehingga pasokan yang dapat dipenuhi pasar dalam negeri menurut data Kementan sebesar 441.000 ton.
Sementara data dari Kemenko Perekonomian mencatat kebutuhan daging sapi mencapai 674.690 ton dan pasokan dalam negeri tercatat 441.761 ton. Dari potret dua data yang berbeda maka akan muncul dua angka jumlah daging yang harus diimpor untuk menstabilkan harga, mana yang akan dipakai.
Itu masih data makro, belum lagi bicara data yang lebih detil, misalnya, menjelang datangnya Ramadhan. Berapa perkiraan kenaikan permintaan daging sapi menjelang Ramadhan dan berapa stok yang ada di tangan peternak sapi potong.
Dari data itu maka akan muncul analisis apakah perlu impor atau tidak dan dalam bentuk apa ? Apakah daging beku atau karkas atau sapi potong yang siap masuk Rumah Potong Hewan. Kemudian disiapkan operasi pasar jauh hari sebelumnya dengan merencanakan jumlah daging dan target sasaran operasi pasar.
Data yang berbeda itulah yang membuat setahun terakhir Pemerintah belum mampu mengendalian harga daging sapi.
"Dengan menyesal saya akui dalam pelaksanaannya pengendalian harga daging sapi ini tidak optimal. Tapi tentu kita ambil hikmah biar tidak terulang," kata Menteri Perdagangan Thomas Lembong, pada hari ketiga Ramadhan.
Operasi pasar terus dilakukan, tetapi harga sejak dua minggu sebelum Ramadhan sampai pertengahan Ramadhan ini belum ada tanda-tanda turun sesuai harapan Presiden yang meminta harga daging bisa sampai Rp80 ribu per kilogram (kg) saat menjelang Lebaran.
Kalau menggunakan mekanisme yang sekarang, sangat sulit mencapai harga itu. Sebagai contoh kebutuhan pembeli di sejumlah pasar di Jakarta rata-rata mencapai 1,2 ton daging per hari, tetapi hanya dipasok operasi pasar 100 kilogram daging beku.
Daging beku memang habis dalam beberapa jam, tetapi harga daging segar di pasar itu tak tergoyahkan tetap saja sekitar Rp120 per kilogram.
Hal sama juga terjadi di daerah seperti di Bandarlampung yang merupakan wilayah dengan sejumlah usaha penggemukan sapi di sekitarnya.
Provinsi Lampung terdapat sebelas "feedloter" atau perusahaan penggemukan sapi potong dengan kapasitas kandang 117.700 ekor. Sekarang Lampung merupakan salah satu penyuplai ternak tersebut ke sejumah wilayah, seperti Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Jawa Barat.
Sejumlah pedagang menyebutkan harga daging sapi di Kota Bandarlampung masih bertahan tinggi meski daging beku impor dari Australia dan Selandia Baru mulai dipasarkan di daerah itu.
Harga daging segar sapi tetap berkisar Rp120.000- Rp130.000 per kg atau belum turun, karena banyak warga yang memilih daging segar dibandingkan daging beku meski harganya lebih murah.
Andre, salah satu pedagang daging sapi di Pasar Lelang Bandarlampung, mengungkap harga daging sapi hasil penggemukan tetap tinggi karena harga sapi di "feedloter" dan rumah potong hewan masih bertahan tinggi.
Ia membeli sapi seharga Rp42.700/kg, padahal sebelumnya Rp42.500/kg. Bahkan harga sapi sudah ada yang mencapai Rp43.000/kg.
Harga Sapi Potong Jadi penyebab utama tingginya harga daging sapi bukanlah di pedagang daging eceran, tetapi peternak yang sudah menaikkan harga jual sapi potong hasil penggemukannya.
Hasil inspeksi Bareskrim Mabes Polri bersama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di dua feedloter di Teluk Naga, Tangerang juga menunjukkan harga sapi potong per kg hidup sudah naik menjadi Rp43.200 untuk sapi jantan dan Rp43.500 untuk sapi betina.
Padahal pada awal Mei 2016, harga untuk harga sapi impor jenis Brahman Australia di berbagai RPH di Jabodetabek masih bertahan pada kisaran harga Rp40.000 - Rp42.000 per kg sapi hidup. Saat itu harga daging di kisaran Rp110.000 per kg.
Mengapa harga bisa naik karena peternak mempunyai argumen bahwa harga sapi bakalan yang sudah naik, demikian juga dengan biaya pakan dan biaya tenaga kerja.
Kalau Pemerintah ingin peternak menjual dengan harga yang bisa ditekan sampai Rp35.000 per kg bobot hidup maka harus diciptakan harga bakalan sapi yang murah. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan populasi sapi bakalan di Indonesia paling tidak sampai 50 persen untuk menambah suplai.
Itu bisa dilakukan dengan dua hal, pertama impor sebanyak-banyaknya sapi bakalan dibarengi dengan peningkatan skala usaha penggemukan rakyat dan penciptaan peternak baru.
Kedua adalah menciptakan peternak dengan usaha pembibitan yang akan meningkatkan produksi bakalan baru. Kalau bisa usaha pembibitan juga tersebar secara merata di setiap provinsi agar mempunyai ketahanan pangan yang tangguh.
Langkah kedua bisa terwujud jika pemerintah secara serius menggenjot program inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik dengan menambah produksi semen dan petugas IB. Kalau perlu peternak tidak perlu membayar jika ternak betinanya ikut IB.
Menteri Pertanian Amran Sulaeman bahkan pernah memimpikan dua juta sapi betina di Indonesia ikut program IB dengan semen unggulan, sehingga secara genetik anakannya akan mampu mempunyai tubuh yang lebih bongsor dengan pertambahan bobot badan yang lebih baik.
Menurut Amran, bila dari dua juta sapi yang bunting itu saja tingkat keberhasilannya mencapai 50 persen, maka akan lahir satu juta sapi baru.
Sistem Tarif Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan, tidak adanya data yang pasti tentang kebutuhan daging dan stok daging nasional maka yang terbaik adalah mengganti sistem kuota impor baik daging dan sapi hidup dengan sistem tarif masuk.
Ia beralasan selama ini kuota impor hanya diberikan kepada segelintir pengusaha dan terbukti tidak mampu mengendalikan harga daging sapi, bahkan sebagian melakukan aksi kartel yang justru membuat harga semakin naik.
KPPU bahkan menjatuhkan hukuman denda sebesar Rp106 miliar pada 32 perusahaan penggemukan sapi (feedloter) yang dituding telah melakukan persekongkolan dengan menahan stok daging sapi tahun 2015.
"Impor bakalan dan impor sapi potong dibuka saja dengan pengenaan bea tarif masuk yang besarannya ditentukan agar semakin banyak pemain dan terjadi mekanisme harga pasar yang tidak dikuasasi segelintir orang," tukasnya.
Usulan itu menurut Syarkawi berkaca pada pengalaman tahun 2013, di mana harga bawang putih sempat melonjak sampai Rp120 ribu per kilogram walaupun sudah ada kuota impor yang diberikan kepada sejumlah pedagang.
"Sistem kuota impor pada bawang putih ternyata tidak efektif dan kemudian diberlakukan sistem tarif masuk dan terbukti saat ini harga bawang putih cukup stabil," ucapnya.
Ada benarnya usulan itu karena selama ini sistem kuota impor sapi bakalan sudah diberikan, namun tetap saja harga jual sapi potong menjadi sangat tinggi seakan tidak mampu lebih rendah dari sapi lokal, padahal tingkat pertumbuhan bobot badan (PBB) sapi impor lebih baik dibanding sapi lokal.
Terbukanya impor sapi bakalan juga bisa dimanfaatkan pengusaha di daerah untuk ikut memperkuat ketahanan pangan bidang peternakan sehingga setiap daerah akan berlomba memenuhi kebutuhan daging.
Pemda bisa memberikan insentif untuk merangsang pengusaha setempat atau bisa juga BUMD, termasuk BUM Desa menggarap bisnis penggemukan sapi atau pembibitan sapi.
Sapi bakalan asal Australia dan Selandia Baru secara genetik mempunyai tingkat PBB yang lebih baik sehingga jika digemukkan akan mempunyai efisiensi pakan yang lebih baik dibanding sapi lokal.
Soal pakan yang berkualitas juga sudah tidak menjadi persoalan karena saat ini teknologi pakan sudah berkembang bahkan sudah banyak peternak yang menciptakan inovasi pakan lebih baik.
Akan lebih baik lagi kalau yang diimpor adalah sapi betina sehingga klop dengan program inseminasi buatan yang semennya berasal dari sapi impor juga.
Dengan demikian merangsang peternak untuk melakukan pembibitan sendiri dengan menghasilkan sapi bakalan yang berkualitas.
(Fakhri Rezy)