JAKARTA - Masalah harga pangan hingga saat ini masih tergolong kompleks. Bahkan, menurut Menteri Pertanian Amran Sulaiman, disparitas harga pangan ini telah terjadi selama puluhan tahun, sehingga tidak mudah untuk mengatasinya saat ini.
"Disparitas terjadi puluhan tahun. Ini tidak mudah," kata Amran di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (15/8/2016).
Hal ini terlihat dari besarnya disparitas harga pangan. Di antaranya adalah pada harga bawang dan beras. Menurut Amran, hal ini tidak terlepas dari permainan makelar.
"Selama ini bermasalah setiap tahun, harga berfluktuasi dan disparitas tinggi. Misal kemarin harga bawang di tingkat petani Rp14 ribu dan Rp16 ribu, tapi jaraknya hanya 10 km dari situ (lokasi panen) harganya 40 ribu. Apalagi kalau dua minggu lagi kita panen bisa jatuh lagi harga ini," kata Amran.
"Lalu di Jawa Barat, harganya Rp6.800 biaya produksi beras premium (per kg). Di kota bahkan sampai Rp11, Rp12, Rp13 ribu. Padahal harga jualnya Rp8 ribu. Disparitas 200 persen," imbuhnya.
[Baca juga: Batasi Harga, Mendag: Demi Keuntungan Petani dan Konsumen]
Untuk itu, pemerintah menggandeng pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi persoalan ini. Di antaranya adalah melalui program pemangkasan rantai distribusi dan penetapan harga batas atas dan batas bawah.
"Tadi Pak Gubernur (DKI) menjamin harga yang kita tetapkan bersama. Sebagai contoh adalah daging di pasar jaya untuk tingkat konsumen Rp80 rb maksimal. Bawang sekarang Rp14 ribu atau bisa saja dua minggu panen puncak beda lagi," imbuhnya.
Kebijakan ini telah dirumuskan bersama Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Bahkan, Enggar juga akan menerapkan beberapa program lainnya secara bersamaan, di antaranya adalah larangan impor jagung pada pakan ternak. Amran pun sempat memuji kecerdasan Enggar yang segera gerak cepat dalam melakukan kebijakan ini.
"Sehingga nanti pedagang untung dan konsumen tidak rugi. Beliau cepat kerjanya, mudah-mudahan saya bisa imbangi kecepatan beliau. Sehingga ada kesamaan visi," tutupnya.
(Raisa Adila)