MATARAM - Nursimah, terpidana perkara pungutan liar (pungli) Program Nasional Agraria (Prona) di Desa Sekotong Barat, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, membayar denda Rp50 juta.
Uang denda yang merupakan hasil keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram ini diserahkan terpidana melalui penasihat hukumnya, Edy Rahman, ke jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Mataram, Senin.
"Denda ini dibayarkan sesuai dengan amar putusannya," kata Edy Rahman yang ditemui usai penyerahan denda di Kejari Mataram.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram dalam amar putusannya menyatakan bahwa Nursimah terbukti bersalah menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala desa dengan menarik anggaran sebesar Rp500 ribu untuk setiap warganya yang mengajukan sertifikasi lahan melalui program prona.
Karena itu, Nursimah dinyatakan telah melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan pidana hukuman selama satu tahun penjara dan denda Rp50 juta subsidair satu bulan kurungan.
Pembayaran denda sebesar Rp50 juta ini diterima oleh Kasi Pidsus Kejari Mataram Andritama Anasiska di ruangannya. Selain menyerahkan denda, Nursimah juga membayar biaya perkara Rp5.000.
"Uang yang diserahkan ini adalah pembayaran denda sama biaya perkara saja. Karena, uang yang dia ambil itu uang masyarakat, bukan uang negara, jadi tidak ada uang pengganti," kata Andritama.
Karena telah membayarkan denda, lanjutnya, Nursimah akan menjalani masa tahanannya selama satu tahun, terhitung sejak enam bulan lalu ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda NTB.
"Denda sudah dibayar, berarti yang bersangkutan tidak lagi harus menjalani subsidairnya (satu bulan kurungan)," ujarnya.
Lebih lanjut, uang yang diserahkan Nursimah melalui penasihat hukumnya ini akan disetorkan ke kas negara melalui perantara bank.
"Kita setorkan melalui Bank BRI, langsung hari ini, karena prosedur pembayaran denda, pembayaran biaya perkara, termasuk pengembalian kerugian negara, tidak boleh lebih dari 24 jam," kata Andritama.
(Fakhri Rezy)