JAKARTA - Proses perundingan Freeport Indonesia dengan pemerintah belum usai. Namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meyakini di akhir tahun ini proses perundingan yang sekarang berkutat pada soal divestasi 51% saham Freeport bisa selesai.
"Ya moga-moga selesai (akhir 2017)," ucap Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Aryono, di Gedung Heritage, Jakarta, Rabu (27/12/2017).
Menurut dia, proses perundingan Freeport masih terus berlangsung. Dalam hal ini (divestasi) pemerintah diwakili Menteri Keuangan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Kita maunya bisa menyelesaikan secara cepat, yang belum selesai sampai sekarang dan masih dibicarakan adalah proses divestasi," ujarnya.
Bambang tidak detail menjelaskan, kenapa proses perundingan divestasi begitu alot. Hanya saja, saat ini kedua belah pihak masih mengajukan penawaran masing-masing.
"Namanya tawar menawar, kendalanya belum cocok," tuturnya.
Sebelumnya, Pengamat Sumber Daya Alam Ahmad Redi menilai, alotnya proses perundingan Freeport karena sebenarnya tidak ada itikad atau niat perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) untuk memenuhi kepentingan nasional sesuai dengan Undang-Undang Mineral dan Batubara.
"Pemerintah tidak berdaya karena hampir semua kehendak Freeport dipenuhi pemerintah. Sehingga perundingan selama ini hanya buang-buang waktu,"tuturnya kepada Okezone.
Adapun kehendak yang di maksud, di mana PT Freeport Indonesia akhirnya menerima sejumlah poin-poin yang diajukan pemerintah dalam tahap perundingan seperti divestasi 51% dan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) hingga Januari 2022. Atas keputusan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun memberikan hadiah terbaik pada Freeport.
Presiden Jokowi mengintruksikan sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 untuk memberikan perpanjangan operasi maksimum 2 x 10 tahun atau 2031-2041.
Tidak hanya itu, Redi mengatakan, ketidakberdayaannya pemerintah terlihat juga karena sampai sekarang ekspor Freeport masih diizinkan. Padahal, update progres pembangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang dijanjikan Freeport segera dibangun belum kunjung silakukan.
"Janji-janji mereka tidak terpenuhi. Melawan Freeport itu tidak bisa dengan cara biasa, harus cara luar biasa seperti gugatan arbitrase,"ujarnya.
Redi menyimpulkan, atas dasar itikad yang tidak baik dan beberapa komitmen Freeport yang tidak terealisasi, maka proses perundingan Freeport dipastikan tidak selesai di akhir 2017.
"Ini tidak akan selesai. Padahal amanat negosiasi sejak 2009 sudah 8 tahun tanpa hasil. Pemerintah gagal bernegosiasi,"tuturnya.
Untuk 2018, Redi memproyeksikan, perundingan Freeport yang tidak beres di 2017 akan kembali dilanjutkan. Namun dengan adanya perubahan komposisi perundingan yakni, bukan membeli saham tapi membeli hak partisipasi Rio Tinto sebesar 40% di Freeport.
"Pemerintah pasti ingin tetap lanjut. Freeport semestinya juga mau tetap lanjut. Tapi dengan perubahan komposisi karena Rio Tinto hadir. Dengan demikian maka Freeport akan cederung pasif dalam perundingan karena posisi mereka yang sudah dapat kepastian tadi sudah sangat aman,"ujarnya.
(Fakhri Rezy)