Kuota Taksi Online Perlu Diatur Supaya Tidak Terjadi "Kanibalisme"

Antara, Jurnalis
Senin 05 Maret 2018 12:36 WIB
(Foto: Reuters)
Share :

JAKARTA – Pemberlakuan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) nomor 108/2017 tentang Penyelenggaran Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Tidak Dalam Trayek harus segera berlaku. Selain aspek keamanan dan menjaga kualitas layanan, aturan itu juga akan menjaga prinsip keekonomian secara jangka panjang.

Penerapan Permenhub 108/2017 akan menjaga prinsip keekonomian sehingga tidak saling mematikan (kanibalisme) antara taksi berbasis aplikasi (taksi online) dengan taksi reguler atau biasa disebut taksi meter yang sudah terlebih dahulu investasi dan eksisting di Indonesia. Terlebih jika kelak sudah ekspansi ke banyak daerah di Indonesia.

Pengamat tata kota Yayat Supriatna, mengatakan di Jakarta dan sekitarnya yang notabene masyarakat pekerjanya memiliki kebutuhan lebih akan sebuah transportasi saja, pada dasarnya terbatas. ”Angkatan kerja dan pekerja yang mampu naik taksi online kan sebenarnya ya tidak banyak berubah jumlahnya,” ujarnya.

Maka pengaturan kuota seperti tertuang dalam Permenhub 108/2017 akan positif untuk menjaga antara penawaran (supply) dan permintaan (demand). ”Aplikator (penyelenggara taksi online berbasis aplikasi) kalau tanpa kuota mau berapa ya? Itu harus dilihat,” terusnya.

Baca juga:

Uji KIR Gratis, Kemenhub Siapkan Dana Rp15 Miliar

Kemenhub Adakan Uji KIR Gratis di 10 Kota Besar untuk Taksi Online

Sejauh ini, di Jabodetabek atau Jakarta pada khususnya, persoalan akibat tidak ada pembatasan kuota memang belum terlihat. Sebab diimbangi dengan daya beli masyarakat dan kebutuhan terutama kelas pekerja itu.

Masalah akan muncul jika tanpa batasan kuota, taksi online kemudian menjamur di sejumlah daerah. Terlebih daerah tingkat dua dan seterusnya. ”Masyarakat di daerah seperti Cianjur, Tasik, Sukabumi, atau lainnya lah itu kan sebenarnya kebutuhannya bisa kelihatan,” peraih gelar Doktor Sosiologi dari Universitas Indonesia itu menerangkan.

Di Bogor saja, kata dia, dari Sembilan ribu angkot sebelumnya, sebanyak dua ribu di antaranya sudah mati. Bahkan yang ada pun sopir angkotnya banyak yang menyubsidi untuk sekadar bisa bayar setoran harian.

”Di satu sisi oke ada angkatan kerja baru (dari kehadiran aplikasi dan taksi online). Tapi di sisi lain ada yang mati. Makanya harus ada kuota,” kata dia.

Kuota merupakan salah satu dari empat poin yang masih dipersoalkan oleh sebagian pelaku taksi online dalam Permenhub 108/2017 yang semestinya efektif pada 1 Februari 2018. Tiga lainnya adalah uji KIR, stiker penanda khusus untuk taksi online, dan SIM khusus.

Yayat mengajak semua pihak harus melihat esensi dari Permenhub 108/2017 adalah sejalan dengan semangat Undang Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU 22/2009).

”Jadi, Permenhub itu, aturan-aturan yang diadopsi jelas-jelas mengarahkan tata kelola angkutan umum baik yang trayek maupun non trayek ke arah badan hukum. Kalau mau protes Permenhub maka sebaiknya kritik lah Undang Undangnya,” tegasnya.

Baca juga: Pemerintah Harus Kendalikan Pertumbuhan Armada Taksi Online


Sebab semua yang dipersoalkan terkait Permenhub 108/2017 terutama oleh sebagian pengemudi taksi online, memang sudah ada di UU 22/2009. ”Ini sekarang kan seolah ada adu kontestasi antara pengelolaan badan hukum lawan perseorangan. Padahal walaupun perseorangan, tetap dia kena standar aturan keamanan dan keselamatan dan memang mensyaratkan badan hukum,” ungkapnya.

Dulu, angkutan kota alias angkot yang dimiliki perorangan pun akhirnya berbadan hukum. Umumnya menjadi Koperasi. Dengan begitu maka baik pengemudi maupun penumpang bisa terlindungi.

”Tujuan utama Permenhub 108 dan UU-nya itu untuk melindungi operator, pengemudi, dan pemilik taksi online,” Yayat menegaskan.

Sekadar gambaran, selagi sehat, pengemudi taksi online penuh semangat karena dimanjakan aplikator. Ada bonus, insentif, atau kemudahan lainnya. Lalu bagaimana ketika pengemudi jatuh sakit? ”Apakah aplikator bertanggungjawab?” pikirnya.

Belum lagi dari sisi perlindungan kepada pengguna atau penumpang. Saat ini, di taksi online, pertanggungjawaban hanya bersifat personal antara pengemudi dengan penumpang. ”Jadi jelas ya ini bukan hanya persoalan sistem aplikasi,” Yayat menambahkan.

Dalam jangka panjang, mengacu pada Permenhub 108/2017, pengemudi taksi online bisa diuntungkan karena akan berujung pada pertanggungjawaban badan hukum. Terkait dengan sistem ketenagakerjaan di Indonesia.

(Widi Agustian)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya