Dia mengungkapkan, daerah-daerah yang mampu memberikan pelayanan terbaik akan memenangkan persaingan. “Dari kriteria ACES, 90% itu tidak langsung berhubungan dengan syariah. Semua bersifat umum. Kecuali makanan harus ada sertifikasi khusus halal. Maka siapa yang bisa memberikan pelayanan terbaik, dia akan memenangkan persaingan,” tuturnya. GMTI memproyeksikan jumlah wisatawan muslim dunia pada 2020 mencapai 158 juta dengan total pembelanjaan sebesar USD220 miliar atau setara Rp3.080 triliun dengan pertumbuhan 6% per tahun. Pertumbuhan tersebut diharapkan terus meningkat menjadi USD300 miliar atau setara Rp4.200 triliun pada 2026. Ketua Tim Percepatan Pengembangan Pariwisata Halal (TP3 Halal) Kemenpar Anang Sutono mengatakan, pesatnya pertumbuhan wisatawan muslim dunia membuat banyak negara baik negara Islam maupun non-Islam berupaya menjadikan pariwisata halal sebagai salah satu ikon produk destinasi andalan.
“Indonesia memiliki komitmen yang tinggi untuk memenangkan persaingan untuk pariwisata halal. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia memiliki potensi sangat tinggi untuk menjadi tujuan wisata utamanya,” ujarnya. Pada tahun 2017, Indonesia meraih 1,95 juta wisman halal tourism atau tumbuh 15% dengan perolehan devisa mencapai Rp27 triliun. Sejak dicanangkannya pariwisata halal pada 2014, tingkat daya saing Indonesia versi GMTI telah mencapai peringkat kedua terbaik dunia bersama dengan Uni Emirat Arab meski masih di bawah Malaysia berada di peringkat pertama. Anang menambahkan, penyelenggaraan bintek IMTI 2019 juga bertujuan mengenali potensi secara mendalam sebagai destinasi pariwisata halal berdasarkan standar global. Menurut dia, para pengelola destinasi harus memahami standar global yang digunakan dalam bersaing.
“Penggunaan kalibrasi dengan standar global ini sebagai tolok ukur keberhasilan. Destinasi harus memahami alat benchmarking tersebut untuk menjadi tujuan wisatawan muslim kelas dunia,” tandasnya.
(Oktiani Endarwati)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)