JAKARTA – PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN bertahap akan mengubah bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menjadi 100% menggunakan minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO). Hal itu sebagai upaya perseroan melakukan efisiensi sekaligus membantu pemerintah menekan impor bahan bakar minyak (BBM). ”Target kita tahun ini untuk mengganti PLTD eksisting dengan CPO.
Ada empat pembangkit yang akan kita ganti 100% dengan CPO,” ujar Direktur Perencanaan Korporat PLN Syofvi Felienty Roekman di Jakarta, kemarin. Menurut dia, keempat PLTD itu di antaranya PLTD Kanaan berkapasitas 10 megawatt (MW) di Bontang, Kalimantan Timur; PLTD Batakan berkapasitas 40 MW di Balikpapan, Kalimantan Timur; PLTD Suppa berkapasitas 62 MW di Pare-pare, Sulawesi Selatan; dan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) Jayapura berkapasitas 10 MW di Papua.
Adapun total kapasitas seluruh pembangkit yang akan diganti dengan bahan bakar minyak kelapa sawit itu mencapai 102 MW. ”Kita akan lakukan bertahap untuk PLTD-PLTD tersebut supaya full CPO. Untuk sekarang PLTD-PLTD itu semuanya sudah B20 bahkan beberapa tempat sudah ada B30,” katanya.
Baca Juga: Rampung 2021, Investasi Proyek PLTGU Jawa 1 Sebesar Rp26 Triliun
Hal senada juga dikatakan Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali, dan Nusa Tenggara PLN, Djoko Rahardjo Abumanan. Dia mengatakan, PLN akan terus berupaya mengganti bahan bakar pembangkit dari fosil menggunakan energi terbarukan. Upaya itu dilakukan untuk mengejar bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025 serta membantu pemerintah mengurangi impor BBM. ”Ini merupakan wujud PLN membantu pemerintah dalam mengurangi impor migas,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menyambut positif langkah PLN mengganti bahan bakar pembangkit dari BBM menjadi CPO. Meski begitu yang perlu diperhatikan ialah terkait fluktuasi harga CPO. Pasalnya, pada saat harga CPO rendah, maka menjadi sangat feasible digunakan untuk substitusi bahan bakar solar untuk pembangkit. Namun, ketika harga dunia naik, katanya, maka tidak feasible karena produsen CPO akan lebih memilih ekspor dibandingkan memasok kebutuhan PLN karena lebih menguntungkan.
”Padahal yang dibutuhkan PLN itu kestabilan harga CPO. Selain itu, PLN juga butuh pasokan CPO secara berkesinambungan,” kata dia. Untuk itu, Fabby mengusulkan agar pemerintah memberlakukan aturan skema cost margin atau cost plus adjustment untuk mengantisipasi fluktuasi harga CPO dunia.
Pola tersebut diyakini mampu menjaga kestabilan harga CPO dan mampu menjaga kesinambungan pasokan CPO bagi PLN. ”Saya kira dengan cost margin atau cost plus adjustment akan lebih fair diterapkan,” kata dia.
Anggota Komisi VII DPR Ramson Siagian juga menyambut positif penggunaan minyak sawit sebagai pengganti bahan bakar pembangkit berbahan bakar BBM. Substitusi bahan bakar pembangkit dari solar ke CPO dipastikan mampu menghemat devisa, mengingat minyak solar yang selama ini digunakan sebagai bahan bakar PLTD milik PLN berasal dari impor. Selain itu, dengan menggunakan CPO akan memperluas pasar CPO di dalam negeri sehingga dampaknya bisa mendongkrak harga CPO dan tandan buah segar (TBS) di tingkat petani sawit.
Meski demikian, Ramson mengingatkan pentingnya kajian mendalam terkait perubahan bahan bakar pembangkit dari BBM ke CPO agar tidak merusak mesin pembangkit. ”Boleh saja secara teori CPO bisa digunakan sebagai bahan bakar PLTD, tapi itu perlu ada pengalaman empiris.