NEW YORK – Perjalanan bisnis sangat ditentukan oleh tarif hotel dan biaya makan di restoran. Itu juga sangat berpengaruh dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. New York menjadi kota paling mahal di dunia bagi para pebisnis yang melakukan perjalanan bisnis. Itu terungkap dalam survei yang dikeluarkan oleh konsultan manajemen ECA International.
Mereka melakukan survei terhadap ratusan kota di seluruh dunia untuk mengetahui bagaimana tingkat biaya hidup yang dihabiskan oleh para pengusaha dan pebisnis. Selain New York, Amerika Serikat (AS) menempatkan tiga kota lainnya yakni Washington DC, Los Angeles, dan San Francisco.
“Kota-kota di AS memang mahal karena dolar terus menguat di kota tersebut,” kata analis biaya hidup dari ECA, Qasim Sarwar, di lansir CNN. “Permintaan untuk berbisnis di kota-kota tersebut juga tergolong meningkat,” tuturnya.
Baca Juga: Singapura Jadi Kota Maritim Terbaik di Dunia
Steven Kilfedder, manajer produksi ECA International, mengungkapkan proporsi besar biaya perjalanan bisnis ke New York dipengaruhi oleh tingginya harga hotel. Rata-rata biaya hotel mencapai USD512.
“Ditambah dengan biaya transportasi dan makan di restoran menjadikan perjalanan bisnis di kota tersebut sangatlah mahal,” ujar Kilfedder. Biaya hidup yang harus dikeluarkan pengusaha dan pebisnis mencapai Rp11,22 juta per hari.
Pendatang baru di daftar ECA adalah Reykjavik, Islandia. Kota itu menarik karena kota tersebut memang untuk wisatawan. Sarwar mengungkapkan bahwa Reykjavik tidak hanya dihitung dari biaya hidup yang mahal, tetapi juga pariwisata dan bisnis yang bekerja bersama-sama.
“Okupansi hotel di sana memang terus naik, dan sedikitnya hotel karena permintaan yang tinggi,” kata Sarwar. “Tarif hotel di sana pun menunjukkan kenaikan,”ujarnya.
Bukan hanya tarif hotel yang menjadi pertimbangan yang menentukan kota termahal bagi para pebisnis, juga faktor lainnya seperti transportasi, biaya taksi, dan makanan. Kemudian, biaya untuk alkohol dan minuman ringan juga dipertimbangkan.
Biaya insidental juga menjadi penilaian untuk menentukan kota termahal bagi pengusaha dan pebisnis. “Banyak kota di dunia yang keluar dari 10 besar karena tidak mengikuti tren,”kata Sarwar.
Dia mencontohkan Luanda di Angola, yang pada 2018 menduduki peringkat ke empat. Tahun ini justru keluar dari 10 besar. “Selain faktor biaya hidup, faktor keamanan, kualitas hidup, kualitas hotel, juga menjadi pertimbangan.
Selain itu, stabilitas keamanan dan politik juga menentukan,” paparnya. Hal menarik adalah London. Kota tersebut tidak masuk dalam daftar 10 besar kota termahal di dunia. Mengapa? Keti dakstabilan politik Inggris menjadi penentunya.
“Setiap saat kita bisa mendengar kabar pengumuman Brexit,” ujar Sarwar. “London tidak lagi menjadi kota yang atraktif lagi bagi bisnis. Tarif hotel di sana pun menurun,” jelasnya. Berbeda dengan Swiss, seperti Jenewa yang menduduki kota peringkat kedua termahal di dunia.
Jenewa juga menjadi kota termahal pertama di Eropa bagi pebisnis. Apa rekomendasi bagi pebisnis yang ingin melaksanakan urusan bisnisnya? Sarwar mengungkapkan alangkah baiknya jangan melakukan perjalanan bersamaan dengan puncak libur wisatawan. “Sangat penting untuk memprediksi biaya perjalanan bisnis di masa depan,” katanya.