JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum bisa menggelontorkan sejumlah dana bantuan untuk membantu keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Apalagi diperkirakan BPJS Kesehatan akan mengalami defisit hingga Rp32 triliun pada tahun ini.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, sebenarnya pihaknya sudah menyiapkan uang untuk menutupi defisit dari BPJS Kesehatan. Rencananya ada sekitar Rp13,56 triliun dana yang akan digelontorkan kepada BPJS Kesehatan.
Baca juga: Dirut BPJS Kesehatan: Kenaikan Iuran Tak Akan Bebani Peserta
“Iya (belum cair) tapi dananya sudah ada,” ujarnya saat ditemui di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Nantinya lanjut Mardiasmo, pemerintah akan menambal defisit keuangan melalui kenaikan iuran untuk penerima bantuan iuran (PBI) pusat dan daerah yang jumlahnya 133,8 juta jiwa. Penyesuaian iuran diharapkan dilakukan terhitung sejak Agustus 2019 dan penyesuaian skema baru peserta penerima upah (PPU) pemerintah dalam hal ini PNS, TNI, dan Kepolisian pada Oktober 2019.
Baca juga: BPJS Kesehatan Defisit, Wamenkeu: Daftar saat Sakit, Setelah Sembuh Berhenti Iuran
“Insya Allah, kalau Perpres keluarnya Oktober nanti tinggal terganggung Presiden berlaku surut mulai kapan, misalnya Agustus seperti kemarin kan, empat bulan,” ucapnya.
Jika nantinya ada penyesuaian maka modal dari pemerintah akan bertambah sekitar Rp5 triliun. Hal ini setelah BPJS Kesehatan melakukan beberapa bauran kebijakan seperti dari potongan cukai rokok, dan intersep DAU atas tunggakan Pemda.
Jika nantinya skema ini berhasil, maka defisit BPJS Kesehatan pun akan semakin mengecil. Diperkirakan jika bauran kebijakan ini berjalan, maka pada akhir tahun 2019 sisa defisitnya sebesar Rp14,28 triliun.
Nah nantinya, defisit sebesar Rp14,28 triliun akan ditambal pada akhir 2020 dari keuangan BPJS Kesehatan yang surplus sebesar Rp17,2 triliun. Jika dihitung, maka akhir 2020 defisit tertutup dan BPJS Kesehatan memiliki sisa surplus sekitar Rp2,92 triliun.
Angka surplus itu tentu saja memperhitungkan kenaikan iuran gang akan dilakukan oleh BPJS Kesehatan mulai awal tahun nanti. Adapun kenaikan iuran tersebut yakni, PBI pusat dan daerah menjadi Rp42.000 per bulan per jiwa, peserta mandiri kelas I Rp160.000 per bulan per jiwa, kelas II Rp110.000 per bulan per jiwa, dan kelas III Rp42.000 per bulan per jiwa.
“Kelas I dan Kelas II, kalau yang jelata Kelas III. Kalau yang nakal itu dia kaya masuk kelas III, tapi pada saat masuk dia naik kelas, diharapkan kalau seperti itu tidak boleh. Kalau masuk kelas III tidak boleh masuk kelas kalau memang mampu, jangan orang kaya karena preminya murah dia masuk kelas III, tapi begitu dia sakit dia naik kelas. Pada saat dia masuk RS dia naik kelas supaya diberikan fasilitas selisihnya saya bayar,” jelas Mardiasmo.
Akan tetapi lanjut Mardiasmo, semua skema tersebut bisa berjalan jika Peraturan Presidennya (Perpresnya) sudah dikeluarkan oleh Presiden Jokowi. Sambil menunggu Perpres, pihaknya akan membuat aturan turunannya berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
“Justru itu setelah ada Perpres dan mulai berlaku kapan maka sudah mulai ada kenaikan dan kalau masih ada selisih bisa di carry over tahun 2020. Nah 2020 sudah ada PBI baru maka akan menerima kepesertaan yang baru, nanti di dalam PMK kemugkinan dibayarkan lebih dari satu kali, jadi bisa memperbaiki castflow,” jelas Mardiasmo
"Jadi ini perlu PMK tidak bisa langsung dari Perpres. Karena perbendaharaan tidak bisa motong sebelum ada dasar hukumnya, ada 6-7 PMK untuk bisa mengeksekusi itu," imbuhnya.
(Fakhri Rezy)