JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian ESDM mempercepat transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Selain untuk meningkatkan ketahanan energi, pengembangan EBT juga ditujukan untuk menurunkan emisi karbon di Indonesia sesuai dengan perjanjian Paris Agreement.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan, ada beberapa upaya pemerintah dalam meningkatkan porsi sektor EBT di Indonesia yang telah diterapkan, seperti pengembangan biodiesel, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) co-firing dan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Indonesia.
“Indonesia sudah bergabung untuk upaya penurunan gas rumah kaca (GRK) ini. Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo hadir di Paris Agreement dan menyampaikan komitmennya menurunkan emisi GRK hingga 29 persen di tahun 2030,” kata Dadan, Sabtu (8/5/2021).
Baca Juga: Ada 'Harta Karun' di Aceh, Cek 4 Faktanya
Kemudian, upaya lain dalam meningkatkan porsi EBT adalah dengan melakukan transisi energi yang juga dengan mempertimbangkan realitas kebutuhan energi, dengan nilai keekonomian yang wajar. Oleh karena itu, peralihan dari energi fosil menjadi EBT sangat diperlukan.
“Sekarang kita mempercepat upaya transisi energi untuk menggeser dari pemanfaatan energi fosil menjadi pemanfaatan energi terbarukan. Ini tidak hanya berdasarkan aspek ketahanan energi saja tapi juga berdasarkan siklus kegiatan ekonomi karena akan selalu diperhitungkan agar bisa bersaing,” ujar Dadan.
Dadan menjelaskan, dalam upaya transisi pemanfaatan energi fosil ke EBT, maka penggunaan panel surya termasuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia perlu dipercepat. Menurutnya, saat ini pemerintah tengah gencar dalam pengembangan teknologi panel surya sebagai salah satu sumber energi yang terbarukan.
Baca Juga: Menko Luhut Sebut RI Tak Lama Lagi Tinggalkan Energi Fosil
“Proyek yang sekarang kami dorong untuk mendapatkan investasi adalah PLTS atap skala besar. Selain itu, nanti PLTS terapung juga akan ditingkatkan, karena kita juga punya banyak waduk, punya banyak bendungan, ini mudah karena tidak perlu membebaskan lahan. Di beberapa tempat di Jawa ini potensinya bisa sampai 2 Giga Watt di 13 lokasi,” ungkap Dadan.
Namun demikian, Dadan juga tidak memungkiri terdapat beberapa hambatan dan tantangan dari sisi pembiayaan yang terjadi di Indonesia dalam mengembangkan efisiensi energi dan transisi ke energi yang lebih bersih.
“Tantangan yang pertama adalah tarif rendah atau menciptakan iklim investasi yang menarik,” ujarnya.