JAKARTA - Persediaan minyak goreng melimpah di minimarket dan supermarket usai pemerintah resmi mencabut kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan per 16 Maret 2022.
Sebelum pencabutan, HET minyak goreng curah Rp11.500/liter, minyak gorengan kemasan sederhana Rp13.500/liter, serta minyak goreng kemasan premium Rp14.000/liter. Namun melimpahnya persediaan minyak goreng ini dibarengi dengan harga yang sangat tinggi.
Baca Juga: Batal Umumkan Mafia Minyak Goreng, Mendag: Kami Serahkan ke Kepolisian
Minyak goreng dengan berbagai merek terlihat di rak-rak minimarket hingga supermarket. Pada Jumat (18/3/2022), kemasan dua liter minyak goreng dapat mencapai kisaran harga Rp49.500, tergantung merek. Harga minyak goreng yang tinggi ini membuat tidak lagi ada antrean warga untuk membeli minyak goreng.
Baca Juga: Daerah Penghasil CPO Terbesar di Indonesia, Ada Riau hingga Kaltim
Menurut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, melonjaknya harga minyak goreng karena dipicu oleh Perang Rusia-Ukraina. Diketahui Rusia-Ukraina adalah negara yang memproduksi minyak dari biji bunga matahari. Namun karena kedua negara tersebut berkonflik, pengguna minyak dari biji matahari dialihkan ke CPO. Hal tersebut yang mengakibatkan harga CPO yang mahal serta berimbas pada harga minyak goreng di Indonesia.
Sebelumnya, kelangkaan minyak goreng terjadi di Indonesia. Hal ini membuat warga terpaksa antre untuk membelinya. Bahkan kelangkaan minyak goreng ini terjadi pada daerah Indonesia yang menghasilkan kelapa sawit, seperti Riau dan Kalimantan Barat. Masyarakat pun bolak-balik untuk mengecek ketersediaan minyak goreng. Selain itu, harga minyak goreng di pasar tradisonal Kendari, Sulawesi Selatan harganya tembus Rp70.000/liter. Ini menandai kenaikan tertinggi minyak goreng.
Ekonom Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Hidayatullah Muttaqin mengatakan bahwa kelangkaan minyak goreng saat itu dipicu oleh dua hal. Pertama adalah aksi penimbunan minyak goreng. Hal ini tentu menganggu distribusi minyak goreng ke masyarakat.
Terlebih semakin dekatnya bulan Ramadan yang biasanya diikuti konsumsi minyak goreng yang lebih banyak. Kedua, kebijakan pemerintah terkait DMO (Domestic Market Obligation) terkait produsen CPO (Crude Palm Oil) ini tidak berjalan efektif.
(Feby Novalius)