Para korban diminta untuk melunasi "utang" mereka ke pusat penipuan jika mereka ingin pergi - sebenarnya uang tebusan yang jumlahnya besar - atau terancam dijual ke pusat penipuan lain. Dalam kasus Chi Tin, keluarganya berhasil mengumpulkan USD2,600 (hampir Rp40 juta) untuk menebus kebebasannya.
Mereka yang tidak mampu membayar tidak punya banyak pilihan selain berusaha melarikan diri, dengan taruhan nyawa.
Dalam satu kasus yang mendapat banyak perhatian bulan lalu, lebih dari 40 warga Vietnam yang ditawan di sebuah kasino di Kamboja kabur dari kompleks tahanan mereka dan melompat ke sungai untuk berenang melintasi perbatasan. Seorang remaja pria berusia 16 tahun meninggal tersapu arus.
Kamboja telah menjadi hotspot terbesar untuk pusat penipuan, tetapi banyak juga yang mulai bermunculan di kota-kota perbatasan di Thailand dan Myanmar. Sebagian besar dari mereka tampaknya milik orang China atau terkait dengan entitas China, demikian menurut berbagai laporan.
Perusahaan-perusahaan ini seringkali menjadi kedok bagi sindikat kriminal Tiongkok, kata kelompok penyelamat dan advokasi Global Anti-Scam Organization (Gaso).
"Banyak perusahaan yang cukup canggih, dengan departemen terpisah untuk TI, keuangan, dan pencucian uang, misalnya. Yang lebih besar bisa seperti korporasi, menyediakan pelatihan untuk penipuan, laporan progres, kuota, dan target penjualan," kata juru bicara Gaso Jan Santiago.
Mereka juga kelompok multinasional, karena para sindikat kerap bermitra dengan geng-geng lokal untuk mengelola pusat penipuan mereka atau melakukan perekrutan.
Bulan lalu, pihak berwenang Taiwan mengatakan lebih dari 40 kelompok kejahatan terorganisir lokal terlibat dengan operasi perdagangan manusia di Asia Tenggara.
(Taufik Fajar)