JAKARTA - Ombusdman RI memberikan tujuh rekomendasi kepada pemerintah terkait perbaikan kebijakan dalam jangka pendek untuk menstabilkan pasokan dan harga beras.
Anggota Ombusdman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan, sebenarnya dalam kondisi ini force majeure seperti ini, mesti ada pertimbangan lain dalam setiap kebijakan. Seperti penghentian sementara kebijakan HET.
"Pada intinya, kebijakan yang telah di keluarkan oleh Badan Pangan Nasional (BPN) terkait HET beras jangan dijadikan momok untuk menjerat yang akhirnya malah menyebabkan suplai beras tidak lancar" ungkap Yeka Hendra Fatika kepada Okezone, Rabu (11/10/2023).
Selain itu, lanjut Yeka, Ombudsman juga merekomendasikan tujuh perbaikan mengenai alternatif kebijakan jangka pendek dalam upaya stabilisasi pasokan dan harga beras.
1. Pencabutan Sementara Kebijakan HET Beras
Badan Pangan Nasional agar mencabut sementara kebijakan HET Beras, guna optimalisasi penyediaan pasokan beras di Pasar dan Masyarakat. Selanjutnya dilakukan evaluasi dan monitoring secara berkala (seminggu sekali) terhadap efektifitas pencabutan kebijakan HET Beras.
Ombudsman berpendapat bahwa kebijakan HET beras sejauh ini tidak cukup efektif dalam meredam kenaikan harga bahkan dikhawatirkan akan menyebabkan kelangkaan pasokan beras. Per tanggal 17 September 2023, harga beras premium berdasarkan data Badan Pangan Nasional mencapai Rp14.270, dan Data SP2KP Kementerian Perdagangan sebesar Rp 14.555.
Sedangkan harga beras medium, berdasarkan data Badan Pangan Nasional saat ini mencapai Rp12.620, dan data SP2KP Kementerian Perdagangan sebesar Rp12.740. Berdasarkan hasil pemantauan Ombudsman terhadap tren harga beras yang dicatat oleh Kementerian Perdagangan dan Badan Pangan Nasional, menunjukan bahwa harga beras premium tetap berada di atas HET sejak November 2022 hingga saat ini di bulan September 2023. Begitu pula harga beras medium yang stabil tinggi melampaui HET sejak Januari 2022 lalu.
Peraturan HET beras saat ini diatur dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 7 Tahun 2023. Sebagai contoh, sejak Maret 2023 HET beras premium di wilayah Zona 1 (Jawa, Lampung dan Sumatera Selatan) diatur maksimal Rp13.900 per kg atau naik dari sebelumnya Rp12.800 per kg. Adapun HET beras medium juga naik dari Rp9.450 per kg menjadi Rp10.900 per kg.
Kenaikan HET itu dilakukan menyusul tren harga pasar yang meningkat. Namun, yang terjadi rata-rata harga beras di pasar justru terus mengalami kenaikan hingga melampaui HET yang sudah lebih tinggi. Tercatat, harga beras premium pada September 2023 mengalami kenaikan 14,34% - 15,26% bila dibandingkan September 2022. Begitu pula beras medium yang naik 15,25% - 20,15%.
Hal tersebut menunjukan bahwa memang kebijakan HET Beras tidak cukup efektif dalam meredam harga beras di Pasar. Selain itu, pengawasan terhadap HET beras pun kurang efektif. Sehingga, kebijakan HET Beras perlu dilakukan pencabutan untuk semantara oleh Badan Pangan Nasional.
2. Penetapan Kebijakan HET Gabah
Badan Pangan Nasional perlu membuat penetapan HET Gabah di tingkat penggilingan, guna mengendalikan harga gabah di tingkat petani. Pasalnya, harus diakui kenaikan harga beras saat ini imbas dari tingginya harga gabah. Kenaikan harga gabah pun dipicu banyak faktor, seperti kenaikan nilai dari komponen-komponen produksi padi di tingkat Petani.
Ombudsman memahami bahwa Petani tetap perlu diberikan apresiasi dengan harga Gabah yang wajar, agar kemudian hal itu dapat menjadi dorongan dan gairah bagi Petani dalam meningkatkan hasil panen. Namun, tetap perlu ada batasan harga gabah, agar kemudian tidak berdampak juga terhadap kenaikan beras yang tidak terkontrol.
Ombudsman berpendapat bahwa ditetapkannya HET Gabah dapat menekan kenaikan harga beras yang saat ini terlampau tinggi. Perumusan HET gabah juga mesti tetap mempertimbangkan komponen produksi di tingkat petani. Penerapan HET Gabah dievaluasi secara berkala (seminggu sekali). Jika Harga gabah sudah terkendali, maka HET gabah dapat dipertimbangan tidak diberlakukan kembali.
3. Pembatasan Peredaran Gabah Lintas Provinsi
Badan Pangan Nasional agar membuat kebijakan pembatasan peredaran Gabah lintas propinsi. Ombudsman berpendapat bahwa hal ini perlu dilakukan agar kemudian dapat terukur ketersediaan stok gabah di masing-masing wilayah.
Ombudsman menemukan bahwa banyak penggilingan padi kecil yang kesulitan dalam memperoleh pasokan gabah dari Petani. Hal tersebut terjadi salah satunya karena gabah dari suatu provinsi dapat bergerak keluar provinsi tersebut. Sehingga akhirnya ketersediaan beras pada provinsi tersebut pun menjadi minim dan tidak dapat terukur.
4. Membangun Kerjasama antara Penggilingan Kecil dengan Penggilangan Besar
Kementerian Pertanian agar membuat kebijakan yang mengatur tentang kerjasama/ kemitraan antara Penggilingan kecil dengan Penggilangan Besar dalam penyerapan dan penggilingan padi dari Petani.
Hal ini berangkat dari banyaknya Penggilingan Padi Kecil yang mati (tidak beroperasi) karena pasokan gabah dari Petani tersalurkan lebih banyak kepada Penggilingan Padi Besar. Petani tentu lebih memilih memasok kepada Penggilingan Padi Besar karena nilai pembelian lebih tinggi dari Penggilingan Padi Kecil.
Ombudsman berpendapat bahwa hal tersebut telah menyebabkan iklim usaha menjadi buruk, kondisi tersebut jelas tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang didalamnya mengatur mengenai perizinan industri penggilingan padi dan penyosohan beras (masuk dalam kode KBLI 10631) terbagi ke dalam 3 bagian sesuai dengan masing-masing parameter risiko.
Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang dapat mengatur kerjasama antara Penggilingan kecil dengan Penggilangan Besar dalam penyerapan dan penggilingan padi dari Petani, sehingga pada akhirnya diharapkan terwujudnya iklim usaha yang sehat.
5. Percepatan Importasi Beras
Perum BULOG untuk melakukan percepatan pemasukan importasi beras dari berbagai negara guna kepentingan pasokan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Tata Kelola Importasi agar tetap mengacu pada peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan mengedepankan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).
6. Operasi Pasar (SPHP) kepada Konsumen Langsung
Perum Bulog dalam melakukan SPHP/ Operasi Pasar agar dapat dilakukan secara langsung kepada konsumen, tidak perlu melalui PIBC. Ombudsman berpendapat bahwa penyaluran beras SPHP secara langsung kepada konsumen akan dapat memangkas waktu menjadi lebih cepat dan harga menjadi lebih murah.
7. Mengedepankan asas Ultimum Remidium dalam Pengawasan Tata Niaga Beras
Pemerintah dan Aparat Penegah Hukum (APH) agar mengedepankan asas Ultimum Remidium dalam Pengawasan Tata Niaga Beras. Ombudsman berpendapat bahwa pendekatan penegakan hukum pidana di awal dikhawatirkan dapat membuat pasokan beras malah semakin langka di Pasar, karena Pelaku Usaha takut dalam melakukan penyaluran beras.
(Feby Novalius)