JAKARTA - Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Sistem Online Single Submission (OSS) semakin didukung dengan adanya penambahan anggaran. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarinves) Luhut Binsar Pandjaitan tidak ingin ada lagi proses pengurusan izin secara tatap muka.
“OSS harus segera kita perbaiki. Saya setuju dana OSS ditambah agar orang jangan ketemu dengan orang lagi untuk mengurus macam-macam," ungkap Luhut, dikutip Antara.
OSS atau Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik merupakan sistem perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik dengan seluruh kementerian/lembaga (K/L) negara hingga pemerintah daerah (pemda) di Indonesia.
Selama kunjungan kerjanya ke China mulai Rabu (12/6), Luhut mengunjungi beberapa kota dan wilayah seperti Beijing, Jilin, dan Shanghai. Dalam perjalanan tersebut, ia bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Kepala National Development and Reform Commission (NDRC) China Zheng Shanjie, pejabat dari Tsinghua University, serta sejumlah pengusaha asal Tiongkok.
"Harus ada peningkatan untuk (kualitas) mesinnya, sama seperti e-catalogue, karena dengan tidak ketemu orang pasti korupsi akan berkurang," tuturnya.
Luhut menyatakan keheranannya terhadap pihak-pihak yang mengatakan bahwa digitalisasi tidak bisa mengatasi korupsi.
"Digitalisasi katanya tidak menyelesaikan masalah, ya tidak memperbaiki semua masalah, tapi memperbaiki banyak masalah. 'At the end' manusia yang masih mengendalikan AI (artificial intelligence) itu, tapi AI itu alat yang sangat hebat untuk tadi mengurangi korupsi," sambung Luhut.
Menurutnya, perbaikan sistem OSS dapat mengurangi Operasi Tangkap Tangan (OTT).
"kita nggak perlu lagi, drama-drama, OTT-OTT itu. Kita tidak perlu lagi kecil hati, itu masalah kita semua kok," tegasnya
Lebih lanjut Ia menjelaskan agar semakin mendorong investasi, dan tidak harus melakukan promosi yang sekiranya kurang penting.
"Kita di dalam negeri juga harus memperbaiki diri. Promosi-promosi bukan tidak perlu, tapi dikurangi. Yang perlu perbaikan tadi untuk OSS, 'Online Single Submission'. Kalau itu perlu dana tambahan, tambah saja tapi untuk promosi dengan jalan-jalan tidak perlu," jelas Luhut.
Selain menghemat dana promosi untuk perjalanan ke luar negeri, Luhut juga menekankan bahwa dana untuk studi banding yang tidak perlu harus dikurangi.
"Apa ini banyak-banyak? Bisa disederhanakan, kita harus lebih presisi lagi apa yang perlu dipromosikan, tidak perlu juga studi (banding) tiap tahun," imbuhnya.
Sebagai Informasi, pada awalnya OSS diperkenalkan pada tahun 2018 setelah survei Bank Dunia mengenai Ease of Doing Business (EODB) menempatkan Indonesia di peringkat 144 dari 190 negara dalam laporan EODB tahun 2018, karena masalah perizinan dan birokrasi.
Perizinan di Indonesia dianggap tersebar, tidak terkoordinasi, tidak di standardisasi, memerlukan rekomendasi dari berbagai kementerian/lembaga atau pemerintah daerah, dan tidak terintegrasi secara elektronik. Akibatnya, perizinan menjadi rumit, lama, berbelit-belit, tidak pasti, dan mahal.
Selain itu pemahaman terhadap operasional Sistem OSS oleh unit di kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah juga masih rendah
Namun, sejak penerapannya pada tahun 2018, sistem OSS menghadapi masalah karena kapasitas server dan bandwidth yang sangat terbatas. OSS harus menghubungkan puluhan kementerian, lembaga, pemerintah daerah, kawasan ekonomi khusus, dan kawasan industri. Pada beban puncak, sistem OSS bisa mengalami kegagalan dan menghambat pelayanan.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa sistem OSS dikembangkan dengan dana hanya Rp30 miliar. Ia pernah mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp875 miliar untuk tahun 2023, namun tidak disetujui.
Bahlil juga menganalogikan bahwa layanan OSS saat ini seperti mobil Avanza dengan kecepatan terbatas, tidak bisa secepat mobil Mercedes Benz.
Untuk saat ini, sejak diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 9 Agustus 2021, OSS Berbasis Risiko telah menerbitkan 5.172.038 Nomor Induk Berusaha (NIB) sesuai dengan pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja.
Menurut data dari Kementerian Investasi, dari total 5,17 juta NIB yang diterbitkan, sebanyak 5.112.994 merupakan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK), 20.973 usaha menengah, dan 38.071 usaha besar.
Baca selengkapnya: Perbaiki OSS, Luhut Tak Mau Ada Drama-Drama OTT
(Kurniasih Miftakhul Jannah)