JAKARTA - Sistem ketenagalistrikan harus sepenuhnya dikuasai negara, karena menyangkut hajat seluruh rakyat. Karena itu, skema power wheeling dinilai tidak perlu dimasukan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Skema tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 serta berisiko menaikkan tarif listrik dan menurunkan daya beli dalam negeri.
“Sebagai akademisi, saya bisa menyatakan bahwa klausul power wheeling itu bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan negara untuk menguasai hajat hidup orang banyak, termasuk pemenuhan dan ketersediaan energi pada sektor ketenagalistrikan,” kata Pakar energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Nanang Hariyanto, Selasa (10/9/2024).
Menurutnya, dalam UUD 1945 tidak mengizinkan konsep power wheeling atau membuka akses terhadap sistem ketenagalistrikan.
“Kan seluruh wilayah Indonesia merupakan wilayah usaha sistem ketenagalistrikan dari negara ke masyarakat. Jadi nggak boleh ada peran lain selain negara,” katanya.
Secara tegas, RUU EBET berisiko memberikan paksaan bagi sistem ketenagalistrikan yang awalnya tertutup menjadi terbuka.
“Dengan itu akan memberikan beban tambahan pada fungsi koordinasi dan pengiriman listrik yang sudah terbilang ekonomis saat ini,” tegasnya.
Untuk itu, pemerintah dan DPR harus kuat menjaga kepentingan nasional.
“Kita jangan mau dipaksa untuk menggenjot pemanfaatan power wheeling, tanpa melihat dampak buruk yang dihasilkan dari pemanfaatan power wheeling,” katanya.
Menurutnua, skema power wheeling merupakan skema yang lazim dalam sistem liberalisasi ketenagalistrikan yang tidak cocok diterapkan di Indonesia.
“Masyarakat Indonesia butuh kepastian tarif Listrik sesuai dengan daya beli. Dan itu harus ada peran negara. Tidak boleh itu diliberalisasi,” ujarnya.
(Feby Novalius)