SEJAK 3 Desember 2014, beban berat disematkan di pundak Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met. Pria kelahiran Jakarta, 26 Juni 1957 itu dikukuhkan sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan utama di Universitas Indonesia (UI).
Menjadi rektor sejatinya seperti sebuah pengabdian tertinggi Anis pada UI. Pasalnya, sejak 23 tahun lalu, alumnus Fakultas Teknik UI ini sudah menunjukkan dedikasi pada almamaternya.
Periode 1993-1997 Anies ditunjuk menjadi Pembantu Dekan Bidang Akademik FT UI. Sejak itu, karir akademisnya menanjak. Beberapa jabatan penting sempat diembannya seperti anggota Senat FTUI selama empat periode; Ketua Jurusan Metalurgi FT UI; Anggota Senat Akademik UI selama tiga periode; hingga Direktur Pendidikan UI pada masa kepemimpinan Rektor UI Prof. dr. Usman Chatib Warsa, PhD, Sp. MK (2003-2007). Anis juga didapuk menjadi Wakil Rektor UI Bidang Akademik dan Kemahasiswaan saat masa kepemimpinan Prof. Dr. der Soz. Drs. Gumilar Rusliwa Somantri, serta memegang jabatan Plt. Rektor UI setelah masa jabatan Gumilar habis.
Ketika dilantik sebagai rektor UI, Anis menekankan pentingnya unsur kepercayaan untuk mencapai visi UI menjadi universitas unggul. "Perlu ada usaha untuk membangun trust. Trust, merupakan modal sosial yang sangat krusial dalam membangun potensi UI," ucap Anis kala itu.
Kepercayaan ini pulalah yang sejatinya harus dijaga dan menjadi beban Anis dalam memimpin UI pada periode 2014-2019. Pasalnya, nama UI sudah menjadi jaminan pendidikan berkualitas di Tanah Air.
Bahkan, banyak tokoh penting di Indonesia dulunya mengenakan jaket kuning, warna khas almamater UI. Menteri Keuangan Sri Mulyani, pendiri Surya University dan saintis Yohanes Surya, Mantan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, hingga para seniman di dunia hiburan, seperti Dian Sastrowardoyo, Erwin Gutawa dan Raditya Dika hanyalah beberapa tokoh dan figur publik yang menjadi mahasiswa UI.
Tradisi UI mencetak lulusan handal pun membuat pemilik gelar Master of Metallurgy (M.Met) dari University of Sheffield, Inggris, itu tak bosan mendorong mahasiswanya untuk mengeluarkan segala potensi yang dimiliki selama kuliah. Menurutnya, tujuan kuliah bukan hanya lulus secara akademis.
"Kami ingin bahwa apa yang dihasilkan mahasiswa harus untuk kepentingan orang banyak, bukan hanya untuk diri sendiri. Dengan seperti itu mereka bisa melihat apa yang bisa diperbuat dan diberikan untuk negara, bukan apa yang diberikan oleh negara," ucap Anis kepada Okezone.
Giat Membangun Kolaborasi
Prestasi alumni UI yang tak terhitung menjadikan kampus ini digandrungi oleh para calon mahasiswa. Setiap tahun, puluhan ribu alumni SMA dan sederajat membidik UI sebagai tujuan studi mereka. Bahkan, di tengah persaingan perguruan tinggi saat ini, peminat UI justru semakin meningkat.
Meski demikian, Anis mengaku tidak pernah melihat perguruan tinggi lain sebagai pesaing. Sebaliknya, dia giat membuat jejaring sehingga apa yang menjadi kekurangan UI bisa diisi dengan perguruan tinggi lain sebagai mitra.
"Masing-masing perguruan tinggi punya kelebihan. Kami akan memanfaatkan kelebihan dengan berbagi ke mereka yang punya kelebihan lain, apalagi yang tidak dimiliki universitas. Dengan seperti itu, tentu bisa membuat UI atau perguruan tinggi partner unggul," tukasnya.
Membawa Kampus Favorit Jadi Berkelas Dunia
Selain kolaborasi dengan sesama perguruan tinggi Indonesia sambil tetap menjaga kualitas dan keunggulan UI, Doktor bidang Metalurgi lulusan University of Sheffield, Inggris ini turut membawa UI melebarkan sayapnya di skala internasional. Dalam pemeringkatan dunia, perguruan tinggi yang memiliki kampus di kawasan Depok, Jawa Barat dan Salemba, Jakarta Pusat, ini masuk 500 besar. Menurut QS World University Rangking 2016, UI berada di posisi 358 dunia dan 67 di Asia. Prestasi tersebut setara dengan nomor satu di Indonesia.
Bagi Anis, penobatan sebagai kampus Indonesia terbaik dalam rangking dunia merupakan menjadi kado atas kerja keras yang dibangun seluruh civitas akademika UI.
"Saya tidak terlalu menggunakan pemeringkatan sebagai tujuan. Ranking itu salah satu alat untuk melihat sejauh mana kami sudah mengembangkan UI. Jadi indikator perankingan bisa melihat peningkatan kinerja dari program yang dijalankan di UI," paparnya.
World class university sendiri menjadi tanda adanya era globalisasi. Artinya, setiap mahasiswa juga dosen harus siap menerima tantangan yang tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Menghadapi hal tersebut, Anis pun memiliki trik tersendiri.
"UI harus melihat bahwa globalisasi atau MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) ini bukan jadi ancaman, tetapi tantangan. Oleh karena tantangan, maka kita meyakinkan siapa pun yang ada di UI untuk bisa mengeluarkan yang terbaik dari dirinya," sebutnya.
Cara Khusus Memimpin UI
Bertugas memimpin kampus sehebat UI, diakui Anis memberi beban tersendiri. Kendati demikian, dia mengaku, setiap rektor secara turun-temurun memiliki tradisi dalam memimpin kampus bersimbol makara tersebut.
"Siapa pun yang terpilih menjadi rektor akan menjalankan apa yang sudah ditetapkan senat maupun kebijakan dari wali amanah. Misalnya, pada trilogi pembangunan UI yang salah satunya mensyaratkan UI harus dikelola secara otonomi. Kebijakan ini akan menjadi pegangan setiap rektor UI untuk membuat rencana strategis selama memimpin," terangnya.
Setiap rektor, lanjut Anis, juga memiliki gaya kepemimpinan masing-masing. Dalam hal ini, Anis ingin agar tradisi prestasi UI bisa dipertahankan.
"UI sudah mempunyai tradisi untuk berprestasi, bahkan sudah tertuang dalam Hymne UI. Siapa pun yang memimpin berusaha bisa mempertahankan tradisi tersebut. Untuk mewujudkan itu, saya berusaha ingin menjadi pendengar yang baik. Saya ingin menjadi fasilitator agar apa yang jadi potensi civitas akademika UI bisa muncul dan memberikan yang terbaik untuk UI," imbuhnya.
(Raisa Adila)