JAKARTA - Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro akan tetap melakukan kajian pemindahan ibu kota Indonesia. Dirinya juga berkali-kali menekankan, kota yang dikaji berada di luar pulau Jawa.
Menanggapi hal ini, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto mengatakan, pemindahan ibu kota tidak mempengaruhi data perkembangan inflasi di Indonesia. Pasalnya inflasi dilihat dari perhitungan data di 82 kota yang dilakukan BPS secara rutin setiap bulannya.
"Enggak dong, perhitungan inflasi kan dilakukan di 82 kota. 82 kota dipilih yang penting," ungkapnya di Gedung BPS, Jakarta, Jumat (15/12/2017).
Baca Juga:
Ibu Kota Dipindah, KSEI: Pertumbuhan Tidak Akan Menumpuk
Kejar Target Pemindahan Ibu Kota, Menteri Bambang: Yang Penting di Luar Jawa
Menurutnya, tahun depan perhitungan data inflasi akan dikembangkan menjadi 90 kota. Namun karena pemindahan ibu kota masih dalam tahap rencana kajian maka tidak masuk dalah hitungan inflasi.
"Perubahan metodologi enggak ada masalah. Kan enggak ujug-ujug dipindahkan ibu kota, semua penduduk ke sana," jelasnya.
Sementara itu ia menjelaskan dari 82 kota yang menjadi data penghitungan inflasi, masing-masing memiliki bobot berbeda. Saat ini yang tertinggi bobotnya adalah Jakarta, sehingga nama ibu kota pengganti yang beredar saat ini belum tentu bisa dalam waktu cepat bisa sebesar Jakarta.
"Jakarta paling tinggi. Karena jumlah penduduk paling tinggi, rumah tangga banyak, sehingga dia akan mempunyai share lebih besar dibandingkan kota kecil dibanding Denpasar. Kan enggak ujug-ujug membangun, berkembang jadi besar, butuh waktu yang panjang," katanya.
Lanjut Kecuk, untuk pertumbuhan ekonomi pengaruhnya belum bisa dipastikan apakah akan berdampak besar. Karena itu tergantung dari pilihan ibu kota nangtinya.
"Sangat tergantung. Kalau sebuah kota berkembang, pasti industri ikut. Tapi seberapa jauh enggak tahu. Kotanya aja belum tahu. Tunggu Desember ya," tukasnya.
(Dani Jumadil Akhir)