JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyebut banyak pejabat pemerintah yang rangka jabatan sebagai komisaris di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini sangatlah mengkhawatirkan karena fungsi pengawasan akan mengendur.
Apalagi, yang rangkap jabatan tersebut berasal dari Aparatur sipil negara (ASN) aktif. Terutama di beberapa kementerian dan non kementerian, anggota TNI yang mayoritas masih aktif, sampai anggota partai politik.
Maka dari itu, Jakarta, Minggu (12/7/2020), berikut fakta-fakta komisaris BUMN yang rangkap jabatan:
Baca juga: Relawan Partai Jadi Komisaris BUMN, Ombudsman: Harus Sesuai Kompetensi
1. Jumlah Komisaris yang Rangkap Jabatan
Ombudsman mengungkapkan terdapat 397 komisaris BUMN yang rangkap jabatan pada 2019. Mereka yang rangkap jabatan berasal dari Aparatur Sipil Negara (ASN) aktif di beberapa kementerian dan non kementerian, anggota TNI yang mayoritas masih aktif, sampai anggota partai politik.
Komisaris yang merangkap paling banyak berasal dari ASN kementerian yakni 254 orang. Sedangkan Kementerian yang paling banyak menyumbang komisaris rangkap jabatan adalah Kementerian BUMN sejumlah 55 orang ASN.
Di urutan kedua berasal dari Kementerian Keuangan sebanyak 42 orang ASN. Sementara komisaris BUMN yang berasal dari kalangan TNI sebanyak 27 orang, Polri 13 orang, dan Kejaksaan 12 orang.
2. Larangan Petinggi TNI-Polri Ada di UU
Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih mengatakan rangkap jabatan komisaris di BUMN yang berasal dari aparat aktif ini menimbulkan pelanggaran etik dan benturan regulasi. Sebab dirinya menyebut, rangkap jabatan di BUMN bertentangan dengan Undang-undang Pelayanan Publik, UU Polri, UU TNI, hingga UU BUMN itu sendiri.
Baca juga: Erick Thohir Diminta Umumkan Hasil Kinerja Komisaris BUMN, Termasuk Ahok
"Begitu juga hal yang berkaitan dengan hukum," ujarnya.
Larangan rangkap jabatan ini tertuang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan jika Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Begitupun juga TNI dilarang untuk menemapti jabatan sipil terkecuali sudah pensiun atau mengundurkan diri dari dinas aktif keprajuritannya. Hal tersebut tertuang dalam UU NO 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dalam Pasal 47 ayat (1) menyebutkan prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
"Kalau yang berasal dari TNI, Polri sudah jelas di UUnya mengatakan dia tidak boleh sebagai jabatan sipil kecuali berhenti dari keanggotaan mereka," katanya.
3. Rangkap Jabatan buat Fungsi Komisaris BUMN Jadi Lemah
Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih mengatakan, banyak laporan yang masuk tentang masih banyaknya beberapa nama yang rangkap jabatan baik di perusahaan induk maupun anak cucu BUMN. Bahkan, beberapa komisaris ini justru tidak memiliki kompetensi yang memadai.
Menurut Alam, komisaris yang rangkap jabatan sulit hadir dalam rapat. Mereka juga sulit untuk dimintai pendapat dalam pengambilan keputusan di BUMN.
Padahal para komisaris ini mendapatkan penghasilan yang ganda menyusul rangkap jabatan di beberapa komisaris dan juga instansi pemerintahan lainnya. Hal ini menyebabkan kecemburuan di antara para komisaris BUMN.
Kalau dia rangkap jabatan dia memiliki waktu yang tidak cukup kami banyak menerima keluhan dari beberapa komisaris yang bekerja cukup serius mereka mengeluhkan banyak Komisaris yang rangkap jabatan bekerjanya ini asal, produknya tidak jelas, kehadiran juga rendah, masukan kurang dan kami belum melihat Kementerian BUMN mengumumkan hasil kinerja evaluasi para komisaris.
"Di sini juga kan menyangkut akuntabilitas. Ini akan berdampak pada hasil kinerja secara keseluruhan," ucapnya.
4. Usulan Ombudsman soal Rangkap Jabatan di BUMN
Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih mengatakan, Presiden Joko Widodo perlu mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatur batasan-batasan dalam penetapan Komisaris di tubuh BUMN. Sebab, jika melihat aturan Undang-Undang baik TNI maupun Polri aktif dilarang untuk rangkap jabatan.
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan perubahan Undang-Undang jika memang masih memaksa bahwa pejabat pemerintahan boleh mengisi Komisaris di BUMN. Namun jika mengubah Undang-undang, memerlukan waktu yang cukup lama karena harus ada mekanisme yang dilalui.
Lalu yang kedua adalah, pemerintah harus melakukan pengecekan pada kompetensi masing-masing individu atau pejabat yang akan dipilih sebagai Komisaris di Perusahaan plat merah. Menurutnya, kompetensi individu yang akan dipilih ini harus sesuai dengan kemampuan dan latar belakang serta kebutuhan perusahaan.
Dan yang terakhir lanjut Alamsyah, perlu ada evaluasi secara berkala oleh Kementerian BUMN kepada posisi Komisaris perusahaan milik negara ini. Hal ini penting untuk mengetahui bagaimana kinerja dari Komisaris selama dia menjabat karena berkaitan pada kinerja BUMN ke depan.
5. Soal Rangkap Jabatan, Ombudsman Akan Lapor ke Presiden Jokowi
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) bakal segera melaporkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai rangkap jabatan pejabat pemerintah di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Nantinya, Ombudsman juga akan memberikan beberapa masukan untuk penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai rekrutmen komisaris BUMN.
Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih mengatakan Presiden Joko Widodo perlu mengeluarkan Perpres untuk mengatur mekanisme pemilihan komisaris BUMN agar tak rangkap jabatan. Saat ini, ada beberapa usulan yang sedang disiapkan untuk nantinya paling lambat dua pekan lagi akan disampaikan ke Presiden Jokowi.
Menurut Alamsyah, saat ini pihaknya juga tengah melakukan diskusi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Langkah ini untuk memitigasi adanya peluang jual beli pengaruh dalam pemilihan komisaris BUMN nantinya.
"Sekarang kita sampaikan pendalaman kita berdiskusi dengan KPK juga kita butuh masukan hal hal berkaitan dengan mitigasi peluang adanya jual beli pengaruh. Itu kan harus juga diatur. Setelah itu kita akan kirimkan ke Presiden," jelasnya.
6. Lantas berapa sih sebenarnya gaji dari ASN, TNI, Polri dan juga komisaris di perusahaan BUMN?
Penghasilan dari komisaris diatur di dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/05/2019 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN.
Dalam aturan tersebut, Komisaris memang tidak mendapatkan gaji. Akan tetapi, Dewan Komisaris mendapatkan insentif kerja yang mana besarannya tidak pasti dan berbeda satu sama lain.
Insentif kerja yang didapatkan Dewan Komisaris ini juga tergantung penghasilan yang didapat dari direktur utama, sehingga, tidak bisa dipastikan berapa jumlah yang didapatkan oleh masing-masing komisaris.
Untuk posisi komisaris utama misalnya, insentif kerja yang akan didapatkan adalah 45% dari penghasilan direktur utama. Sedangkan untuk wakil komisaris utama ini akan mendapatkan 42,5% dari penghasilan direktur utama.
Sementara untuk penghasilan dari Direktur Utama ini ditetapkan dengan menggunakan pedoman internal yang ditetapkan oleh Menteri BUMN. Sedangkan untuk Anggota Dewan Komisaris mendapatkan penghasilan 90% dari Komisaris Utama.
Lantas berapa sih gaji PNS dan TNI Polri ? Gaji untuk ASN misalnya yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2019 yang mana besaran gaji ini tergantung dengan masa kerja golongan.
Biasanya, para pejabat yang dipilih menjadi Komisaris ini memiliki golongan IV. Adapun untuk golongan IV sendiri memiliki 5 sub golongan.
Untuk golongan IVa misalnya yang memiliki rentan gaji sekitar Rp3,04 juta hingga Rp5 juta. Sedangkan untuk IVb memiliki gaji di kisaran Rp3,17 juta hingga Rp5,21 juta.
Sedangkan untuk golongan IVc memiliki gaji di kisaran Rp3,30 juta hingga Rp5,43 juta. Kemudian untuk golongan IVd memiliki gaji dikisaran Rp3,44 juta hingga Rp5,66 juta.
Dan yang terakhir gaji kelompok IVe memiliki gaji di kisaran Rp3,59 juta hingga Rp5,90 juta. Gaji belum termasuk dengan tunjangan yang diterima yang meliputi tunjangan keluarga, anak, kemahalan, perwakilan, jabatan kinerja dan lain-lain.
Sedangkan untuk gaji yang didapatkan oleh seorang polisi berbeda lagi. Gaji yang didapatkan polisi misalnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2019 tentang Perubahan Keduabelas atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Biasanya mereka yang ditunjuk sebagai Komisaris adalah polisi yang sudah masuk ke dalam kategori Perwira Tinggi. Untuk Perwira tinggi dengan pangkat Jenderal biasanya mendapatkan gaji Rp5,23 juta hingga Rp5,93 juta.
Sedangkan untuk Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi memiliki penghasilan di kisaran Rp5,07 juta hingga Rp5,93 juta. Sementara untuk Inspektur Jenderal Polisi memiliki gaji sekitar Rp3,29 juta hingga Rp5,5 juta.
Kemudian untuk Brigadir Jenderal (Brigjen) Polisi memiliki gaji dikisaran Rp3,29 juta hingga Rp5,4 juta. Gaji ini belum termasuk dengan tunjangan kinerja, keluarga, lauk pauk, jabatan, tunjangan khusus daerah Papua dan tunjangan daerah perbatasan.
Sementara untuk gaji yang didapatkan oleh anggota TNI berbeda lagi diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Keduabelas atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota Tentara Nasional Indonesia.
Sama seperti di kepolisian, anggota TNI yang diangkat menjadi Komisaris juga yang merupakan anggota dengan status perwira tinggi. Adapun rinciannya adalah untuk Jenderal, Laksamana dan Marsekal memiliki gaji dikisaran Rp5,23 juta hingga Rp5,93 juta.
Sedangkan untuk Letnan Jenderal, Laksamana Madya, dan Marsekal Madya memiliki gaji dikisaran Rp5,07 jingga Rp5,93 juta. Kemudian untuk Mayor Jenderal, Laksamana Muda dan Marsekal Muda memiliki gaji dikisaran Rp3,29 juta hingga Rp5,57 juta.
Kemudian untuk Brigadir Jenderal, Laksamana Pertama, dan Marsekal Pertama memiliki gaji sekitar Rp3,29 juta hingga Rp5,40 juta. Gaji tersebut belum termasuk dengan tunjangan yang didapatkan.
Besaran tunjangan kinerja prajurit diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2018 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan TNI. Tunjangan tertinggi yang diterima oleh KSAD, KSAL, KSAU sebesar Rp37,81 juta sedangkan, tunjangan terendah yang diterima oleh seorang tamtama dengan pangkat prajurit dua dengan masa kerja 0 tahun sebesar Rp1,96 juta.
(Fakhri Rezy)