Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menilai, lambatnya realisasi amanat Ketetapan MPR tersebut cukup ironis. Mengingat isu pembaruan agraria adalah salah satu persoalan krusial. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2020 telah terjadi 241 kasus konflik agraria dengan korban terdampaknya sebanyak 135.332 kepala keluarga. Termasuk korban kekerasan sebanyak 169 orang (19 korban dianiaya, 139 korban kriminalisasi dan 11 korban tewas).
"Jika dihitung pada periode 2015 hingga 2020, jumlah konflik agraria di tanah air mencapai angka 2.288 kasus, dengan catatan jumlah korban dianiaya sebanyak 776 orang, 1.437 korban kriminalisasi, dan 66 korban tewas. Ini tentunya menjadi catatan penting sekaligus keprihatinan kita bersama, bahwa di sebuah negara demokrasi yang mempunyai Pancasila, dengan luas wilayah daratan 1,9 juta kilometer persegi, masih banyak terjadi konflik agraria," tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, secara umum dapat dipetakan beberapa faktor yang dapat memicu lahirnya konflik pertanahan. Antara lain adanya aturan yang masih tumpang tindih, penyelesaian birokrasi yang masih berbelit-belit, serta masih adanya dua kesenjangan yang mencolok.
"Terutama karena kesenjangan dan ketimpangan dalam penguasaan tanah. Di satu sisi sebagian kecil masyarakat menguasai ribuan atau bahkan jutaan hektar tanah, tetapi di sisi lain jutaan petani hanya memiliki rata-rata 0,3 hektar saja, dan bahkan lebih banyak lagi petani yang tidak memiliki tanah sama sekali, dan hanya menjadi petani buruh," pungkas Bamsoet.
(Dani Jumadil Akhir)