Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Optimalkan Transisi Energi, Harga Gas Bumi Bakal Dievaluasi?

Mutiara Oktaviana , Jurnalis-Kamis, 16 Maret 2023 |18:06 WIB
Optimalkan Transisi Energi, Harga Gas Bumi Bakal Dievaluasi?
Harga Gas Industri Bakal Dievaluasi? (Foto: Dokumen PGAS)
A
A
A

JAKARTA- Evaluasi harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar maksimal USD6 per MMBTU yang sudah diberlakukan selama dua tahun merupakan langkah tepat untuk membantu mengoptimalkan potensi gas untuk berperan pada era transisi energi.

Chairman Indonesia Gas Society Aris Mulya Azof mengungkapkan, harga gas yang ditetapkan pemerintah tersebut sepintas memberikan manfaat besar bagi industri hilir, khususnya untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan. Namun dalam implementasinya, ternyata target pemerintah agar industri hilir bisa berkembang dan lebih banyak menyumbangkan penerimaan kepada negara dari sisi perpajakan justru tidak sepenuhnya tercapai.

“Di sisi lain, pemerintah sudah rela berkorban banyak dengan mengurangi bagiannya di sisi hulu demi terwujudnya HGBT,” ujar Aris dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (16/3/2023).

Ditambahkan Aris, hal itu menjadi tidak sesuai dengan target keseluruhan yang ingin dicapai. Apalagi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan.

Peraturan yang ada menyebutkan bahwa diperlukan kajian terhadap industri tertentu yang dapat memperoleh gas bumi dengan harga khusus.

“Mungkin ada pertimbangan bagaimana harga USD6 per MMBTU dapat sedikit lebih tinggi sehingga harga tersebut bisa juga berpihak pada sektor hulu. Pengorbanan pemerintah (di hulu) belum sebanding dengan manfaat yang dihasilkan pada sektor hilir,” katanya.

Dia menjelaskan, pemerintah menargetkan kebijakan HGBT bisa memberikan efek berganda, namun hingga kini hal tersebut belum terealisasi. Padahal pengembangan gas bumi pada era transisi energi mendesak untuk segera dilakukan karena sumber energi ini dianggap merupakan energi fosil yang paling bersih daripada batu bara dan minyak bumi.

“Kebijakan ini tidak bisa permanen. Mungkin harga USD6 bisa dikoreksi akibat penerimaan negara secara total terus berkurang. Kebijakan HGBT harus dievaluasi untuk menghitung efek berganda dan nilai tambah yang diharapkan pemerintah, seperti meningkatkan kapasitas produksi, meningkatkan investasi baru, meningkatkan efisiensi proses produksi sehingga produk yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif dan meningkatnya penyerapan tenaga kerja,” kata Aris.

 

Berdasarkan data LPEM Universitas Indonesia kontribusi perpajakan tujuh industri yang mendapatkan HGBT memang mengalami peningkatan tipis dari 2020, yaitu sebesar Rp13.323 miliar menjadi Rp15.896 miliar pada 2021. Namun dari sisi lain ternyata terjadi penurunan, misalnya pada tahun 2020 realisasi investasi di sektor hilir menurun dari Rp120.059 miliar menjadi Rp93.521 miliar.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berharap pemerintah dapat melihat permasalahan yang ada dengan menggunakan helicopter of view yang lebih luas. Pemerintah harus bisa menelurkan kebijakan yang proporsional.

Dia mengingatkan migas ke depan masih sangat diperlukan. Kendati Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi fokus pemerintah, namun berdasarkan kajian sejumlah lembaga menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan energi pada sisi volume. Meskipun secara persentase terlihat menurun.

“Apakah ada potensi gagal pada pengembangan EBT? Menurut saya hal itu sangat besar kemungkinannya, terkait masalah pembiayaan dan teknis penyediaannya sendiri. Selain panas bumi, pengembangan EBT sangat bergantung pada cuaca. PLTA bergantung pada debit air. Begitujuga dengan PLTS. Ini alasan mengapa gas bumi menjadi penting untuk diperhatikan,” ujar Komaidi.

Menurut dia, penggunaan gas di masa transisi energi bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lainnya seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, China dan Australia. Hal itu membuat persaingan memperebutkan gas bumi akan sangat besar di kemudian hari.

“Kita punya gas harus dioptimalkan dan dijaga supaya jangan sampai kebijakan HGBT ini membuat potensi gas bumi Indonesia tidak teroptimalisasi,” ungkapnya.

Menurut Komaidi, harga gas bumi bukan satu-satunya variabel penentu pertumbuhan di sektor hilir. Ada 15 variabel lainnya yang juga harus dilihat oleh pemerintah untuk diperbaiki guna meningkatkan daya saing usaha di sektor hilir.

“Variabel daya saing ada 15, termasuk salah satunya harga gas bumi. Ada 14 variabel lainnya yang dapat memperngaruhi daya saing di sektor hilir,” katanya.

Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association Marjolijn Wajong mengatakan, saat ini investor migas harus lebih selektif dalam menempatkan investasinya di suatu negara. Pasalnya, perusahaan-perusahaan migas global telah membagi portofolio investasi mereka antara energi dan energi baru terbarukan.

“Dengan berkurangnya porsi investasi di energi fosil, investor harus benar-benar mempertimbangkan di mana mereka akan berinvestasi. Hal ini harus termasuk menjadi pertimbangan semua pemangku kepentingan termasuk pemerintah agar produksi gas bumi tetap terjaga dan tidak terjadi krisis energi,” ujarnya.

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement