JAKARTA – Bank Indonesia (BI) diproyeksi menaikkan suku bunga untuk mengendalikan nilai tukar Rupiah. Saat ini, diketahui level suku bunga acuan BI, BI7DRR berada di level 5,75%.
"Meskipun neraca dagang masih surplus, dan cadangan devisa masih USD134,9 miliar, namun tekanan eksternal akibat konflik geopolitik bisa memicu pelemahan kurs lebih jauh," ujar Ekonom sekaligus Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, Kamis (19/10/2023).
Selain itu, dia menyebut bahwa spread atau selisih bunga Fed Rate dan BI7DDR terpantau makin menyempit.
"Kondisi ini kurang ideal dalam menjaga aliran modal di portofolio khususnya dari investor asing," ucap Bhima.
Dia menyarankan agar BI sebaiknya terus fokus dalam mendorong devisa hasil ekspor masuk ke perbankan domestik dan di konversi ke rupiah.
"BI dan pemerintah juga perlu memperbaiki kerangka regulasi dalam mendorong reinvestasi atau penanaman kembali dividen ke dalam negeri, sehingga setiap kali bagi-bagi dividen tidak langsung dibawa lari oleh investor asing ke negara asalnya," tegas Bhima
Dia menyebut, pengendalian terhadap utang luar negeri khususnya pemerintah dan BUMN juga penting sebagai upaya menahan laju pelemahan kurs akibat pembayaran bunga dan pokok utang valas.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia hingga September 2023 mencatatkan surplus sebesar USD3,42 miliar.
Namun ternyata, sentimen positif ini belum cukup untuk menahan tekanan terhadap Rupiah. Pelemahan Rupiah saat ini turut dipengaruhi pernyataan yang terkesan hawkish dari pejabat The Fed, Neel Kashkari yang melonjakkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS, di mana inflasi AS dinilai masih tinggi.
Dikutip dari Reuters, Kashkari menyebut bahwa masih butuh waktu yang lebih lama dari yang diperkirakan bagi inflasi AS untuk turun.
Pada penutupan perdagangan Rabu (18/10), mata uang Rupiah melemah 14 poin atau 0,09% ke level Rp15.730 per USD, dibandingkan penutupan sebelumnya di level Rp15.716 per USD.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)