JAKARTA - LVMH, perusahaan yang membawahi merek mewah seperti Louis Vuitton, Dior, dan Tiffany, mengalami penurunan dalam pembangunan toko mereka di Beijing, China. Setahun setelah kunjungan CEO LVMH Bernard Arnault ke lokasi, bangunan masih tertutup pagar. Proyek ini bahkan diperkirakan tidak akan dibuka hingga tahun depan.
Konsumen yang alih-alih diharapkan melonjak setelah Covid-19, justru merosot tajam. Sehingga terjadinya pengurangan nilai pasar saham pada merek-merek ini hingga sekitar USD251 miliar sejak Maret.
Penurunan permintaan barang mewah di China sebagian bersifat siklis, dengan ekonomi negara tersebut yang masih kesulitan pulih dari krisis perumahan nasional. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya indikasi perubahan permintaan yang bersifat permanen terhadap brand mewah Eropa.
Konsumen muda di China semakin mengalihkan pengeluaran mereka ke pengalaman seperti perjalanan, daripada menggunakan barang mewah untuk mengutamakan status.
Perlambatan ekonomi di China telah memberikan dampak signifikan pada merek barang mewah. Kering memperingatkan bahwa laba tahunan mereka akan jatuh ke level terendah sejak 2016 setelah penjualan pada label terbesar mereka, Gucci, anjlok 25% pada kuartal ketiga akibat penurunan ekonomi di China.
LVMH juga melaporkan penurunan 16% di wilayah yang mencakup China pada periode yang sama, lebih besar dari penurunan 14% pada tiga bulan sebelumnya.
Ekspor jam tangan merek Swiss ke China merosot 50% pada bulan September dibandingkan tahun sebelumnya. Menekan merek seperti Vacheron Constantin, IWC serta Omega.
Tak hanya menurun pada barang, tetapi produsen kosmetik juga mengalami dampak serupa. L’Oreal melaporkan penurunan 6,5% pada penjualan di Asia Utara pada kuartal terakhir, perusahaan tersebut menyatakan bahwa pasar kecantikan di China terus memburuk. Estée Lauder juga mengalami penjualan yang turun dua digit dalam tiga bulan hingga September, menyebabkan sahamnya anjlok dengan rekor terendah.
Coco Li, seorang wanita berusia 46 tahun yang dulunya menghabiskan sekitar HK$600.000 (setara dengan USD77.000) setahun atau hampir 20% dari pendapatannya, digunakan untuk membeli barang-barang mewah.
Namun, setelah kehilangan pekerjaannya sebagai eksekutif di sebuah perusahaan multinasional di Hong Kong, kebiasaan belanjanya mulai berkurang. Ia mulai menjual beberapa tas Hermes miliknya di platform online di Tiongkok daratan. “Dulu, saya membeli barang-barang mewah tanpa berpikir, saya kangsung beli selama saya menyukainya,” ungkap Li. Sekarang, dia merasa tidak ada barang spesial yang ingin dibeli karena ketidakpastian mengenai pendapatannya di masa depan.
Pada ekonomi saat ini, barang-barang mewah di Tiongkok tidak lagi menjadi prioritas, terutama di kalangan kelas menengah. Jonathan Siboni, CEO dari konsultasi Luxurynsight, menjelaskan bahwa data perusahaan menunjukkan bahwa sekitar seperempat konsumen Tiongkok merasa bahwa merek-merek Barat semakin kurang menarik dibandingkan dengan 12 bulan yang lalu.
Perubahan pola konsumsi ini mencerminkan pergeseran sikap terhadap pembelian barang-barang mewah, di mana konsumen kini lebih mengutamakan kebutuhan yang lebih mendasar dan pengalaman, alih-alih status sosial yang ditunjukkan melalui kepemilikan barang mewah. Hal ini menunjukkan bahwa dampak dari ketidakpastian ekonomi dan perubahan prioritas belanja semakin terasa, terutama di kalangan konsumen yang lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang.
Walaupun ada potensi ekonomi membaik, tetapi para pembeli di Tiongkok cenderung untuk tidak lagi membeli barang-barang mewah seperti yang mereka lakukan sebelumnya. CEL BrighterBeauty, Jessica Gleeson, menekankan bahwa aspirasi konsumen Tiongkok saat ini tidak lagi bergantung pada merek untuk mendefinisikan kebahagiaan mereka atau label untuk membuktikan kekayaan mereka. “Investasi dalam diri sendiri, kesehatan, dan pengalaman hiburan adalah arah pengeluaran yang semakin terlihat, dan saya tidak melihat tren ini akan berbalik,” ungkapnya. Hal ini menunjukkan pergeseran signifikan dalam perilaku konsumen, di mana fokus semakin bergeser dari barang-barang mewah menuju pengalaman yang lebih berarti dan personal.
Perkembangan merek mewah di Tiongkok mencerminkan tantangan yang lebih luas yang dihadapi oleh industri ini dalam menghadapi perubahan perilaku konsumen dan dinamika ekonomi. Penurunan penjualan yang signifikan, dampak dari krisis perumahan, dan perubahan dalam prioritas pengeluaran konsumen menunjukkan bahwa barang mewah tidak lagi menjadi simbol status utama.
Konsumen muda kini lebih memilih pengalaman dan investasi untuk diri sendiri. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan di sektor barang mewah harus beradaptasi dengan perubahan ini dan mencari cara untuk tetap relevan di tengah perubahan minat konsumen yang sedang terjadi.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)