DENPASAR - Para pengusaha tambang nikel Indonesia menolak Peraturan Menteri ESDM No 7 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral, karena bakal memberatkan dunia usaha pertambangan.
Hanya saja, tidak semua poin pasal yang ditolak oleh para pengusaha tambang nikel ada beberapa pasal yang diterima oleh pengusaha tambang yang menjadi anggota Asosiasi Nikel Indonesia.
"Kami menolak karena belum tersedianya infrastruktur untuk pembangunan pabrik peleburan nikel sehingga peraturan ini terlalu cepat pemberlakuannya," kata Ketua Asosiasi Nikel Indonesia Shelby Ihsan Sale kepada okezone, Kamis (29/3/2012).
Turunnya ketentuan tersebut kata dia, terlalu cepat disaat UU Pertambangan belum sepenuhnya bisa berjalan, kini mereka kembali harus mengikuti peraturan baru tersebut.
Dia menyoroti Pasal 21 bahwa pemegang IUP operasi produksi dan IPR yang diterbitkan sebelum berlakunya peraturan menteri tersebut dilarang menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri dalam jangka waktu paling lambat tiga bulan sejak berlakunya Permen tersebut.
Jelas aturan ini sangat memberatkan pengusaha tambang nikel, karena waktunya sangat singkat. "Kondisi infrastruktur belum jelas pembicaraannya dan bagaimana pelaksanannya, sekarang sudah dihantam seperti ini," tegas Shelby di sela pertemuan internasional yang membahas masa depan pertambangan nikel dunia.
Bahkan, dia menyebut jika peraturan tersebut diberlakukan, pengusaha tambang nikel mengalami mati suri karena sudah mengeluarkan biaya banyak namun tidak boleh mengekspor bahan law meterial ke luar negeri.
Shelby menambahkan, sebagian besar tambang nikel berada di wilayah Indonesia Timur yang belum mendapat suplai Listrik dengan kapasitas besar.
(Martin Bagya Kertiyasa)