Ekonomi Kerakyatan Atasi Konflik Tambang

Rifa Nadia Nurfuadah, Jurnalis
Kamis 29 September 2011 12:26 WIB
Image: corbis.com
Share :

JAKARTA - Maraknya konflik di sekitar lokasi tambang memerlukan penanganan khusus karena tipologinya yang unik. Salah satu solusinya adalah dengan pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Guru Besar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB) Sumardjo memaparkan, uniknya tipologi konflik sosial di sekitar tambang membutuhkan solusi yang khas sesuai dengan karakteristik sosial-budaya, ekonomi, dan ekologi masyarakat setempat.

"Pemberdayaan ekonomi yang bertumpu pada partisipasi masyarakat dan sumber daya ekologis setempat merupakan solusi efektif bagi pengelolaan konflik di daerah tersebut," kata Sumardjo dalam keterangan tertulisnya kepada okezone, Kamis (29/9/2011).

Menurut Sumardjo, faktor kunci pemberdayaan ekonomi di antaranya perbaikan teknologi, manajemen, penguatan kelembagaan, dan pengembangan jaringan kemitraan dalam pemasaran produk masyarakat. Dia menekankan pentingnya pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar tambang untuk mengantisipasi kerawanan pangan, energi, dan lingkungan.

"Sebab, ada kecenderungan jika masyarakat di sekitar tambang tidak mampu mandiri, maka mereka berpotensi terpinggirkan," imbuhnya.

Konflik di sekitar lokasi tambang biasanya dipicu keberadaan sumber-sumber strategis bahan tambang, persaingan akses terhadap sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi bagi masyarakat non-penambang. Umumnya, konflik tersebut dimenangkan pihak-pihak yang mempunyai kemampuan lebih unggul baik dalam sumber daya manusia (SDM), modal, dan manajemen.

Sumardjo melihat, apabila potensi konflik dikelola secara efektif sebagai bagian dari dinamika hidup kemasyarakatan di sekitar pertambangan, maka hal itu berpotensi menjadi pemicu perbaikan kualitas kehidupan.

“Tumbuhnya rasa keadilan dan kepercayaan  di antara pihak terkait dalam pemanfaatan sumber daya alam (SDA), merupakan faktor kunci bagi keefektifan pengelolaan konflik di sekitar pertambangan,” tutur Sumardjo.

Paparan Sumardjo merupakan hasil penelitiannya bersama-sama kolega dari IPB lainnya. Lokasi tambang yang dijadikan subjek penelitian tersebut adalah Kawasan Penambangan Emas Pongkor, Bogor, Jawa Barat dan tambang batu bara PT Adaro Indonesia Tbk di Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan.

Dalam penelitian tersebut, Sumardjo dan timnya berhasil meneliti fenomena konflik di area pertambangan lalu merumuskan model alternatif resolusi konflik dan pemberdayaan masyarakat.

Penelitian Sumardjo menunjukkan, konflik di Kawasan Penambangan Emas Pongkor tidak terlepas dari keberadaan PT Antam dan keberadaan kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Puncak konflik antara Antam dengan PETI terjadi pada Desember 1998. Ketika itu, kerusuhan  membumihanguskan kompleks dan fasilitas kantor Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor (UBPEP) di Sorongan.

Akibat kerusuhan ini, PT Aneka Tambang berhenti berproduksi selama 10 hari dengan kerugian negara mencapai miliaran rupiah. Sementara, konflik terbuka di Kabupaten Tabalong  terakhir terjadi pada Mei 2008. Masyarakat merasa terganggu dengan intensitas kegiatan penambangan yang terlalu dekat dengan pemukiman.

Sumardjo menyatakan, perbedaan konflik di wilayah desa dekat dengan pertambangan modern dan tradisional perlu penanganan berbeda juga. Misalnya, di areal penambangan modern, seiring dengan semakin berkembangnya kegiatan penambangan, areal perkebunan semakin lama semakin menyempit.

Akibatnya, sumber mata pencaharian masyarakat mulai bergeser dari kegiatan berkebun menjadi berminat untuk bekerja sebagai karyawan di perusahaan pertambangan. 

"Hal ini juga didorong oleh daya tarik sebagai pekerja perusahaan, yang dirasakan lebih menarik dibandingkan dengan bekerja sebagai penyadap karet. Pada kondisi seperti terjadi konflik terkait dengan pangan dan energi," imbuhnya.

Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat menuju kesiapan menghadapi perubahan lingkungan dan kemandiriannya menjadi alternatif utama untuk menjadi program Corporate Social Responbility (CSR) perusahaan pertambangan besar setempat.

“Sedangkan untuk kawasan penambangan tradisional yang ekologinya tidak terlalu terganggu, maka selain program pemberdayaan, diperlukan juga peningkatan prasarana ekonomi sehingga masyarakat menjadi lebih mudah mengakses pangan dari wilayah luar desa,” pungkasnya. (rfa)

(Rani Hardjanti)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya