Berdasarkan hal itu, Koperasi dipandangnya sebagai bentuk konkret sistem ekonomi gotong-royong tersebut. Dimana dalam koperasi dituntut pemerataan kerja dan pembagian hasil, sehingga tak ada lagi ketimpangan. Namun, Bung Hatta menyadari, koperasi merupakan langkah jangka panjang ekonomi. Hasilnya tidak bisa serta-merta dirasakan.
Menurut Hatta, bangsa membutuhkan politik ekonomi yang realistis dalam jangka pendek, sekalipun berbeda dengan prinsip koperasi. Sehingga bukan merupakan persoalan masyarakat miskin bekerja pada pemodal-pemodal perseorangan baik dalam negeri maupun asing. Namun itu sebatas menghindarkan masyarakat dari kekurangan kebutuhan pokok sekarang.
Namun, masih terdapat hambatan utama koperasi yang harus dibenahi adalah inferioritas masyarakat akibat penjajahan. Misalnya masalah utang asing. Karena inferioritas tersebut, sebagian kalangan tidak menghendaki peminjaman dari pihak asing karena takut kembali terjajah. Padahal negara tidak memiliki dana. Sehingga, peminjaman asing sangat diperlukan. Yang harus bangsa lakukan bekerja lebih giat dan secepatnya membayar utang tersebut.
[Baca Juga: Koperasi Indonesia Dinilai Gagal, Tak Mampu Hadapi Kompetisi Global]
Hatta juga menekankan, sistem ekonomi dan koperasi harus pintar menimbang, bukan hanya idealitas, tetapi juga realistis. Hal itu akan memungkinkan untuk menciptakan langkah taktis dan strategis. Ekonomi imbang dan berdaulat, tidak bertumpu pada orang lain atau negara asing. Koperasi yang hendak dibangun haruslah memiliki prioritas. Di antaranya, memperbanyak produksi, terutama usaha-usaha kecil, menengah, dan rumah tangga. Kemudian memperbaiki kualitas barang, sehingga mampu bersaing dengan produk-produk negara lain. (DNG)
(Rani Hardjanti)