JAKARTA - Sejak dibentuk pada 20 Oktober 2016 atau sembilan bulan lalu, Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) berhasil menyita Rp17,6 miliar uang hasil pungli dari berbagai daerah.
Uang itu berhasil diamankan dari 917 operasi tangkap tangan (OTT). Dari jumlah itu, 1.834 orang telah ditetapkan sebagai tersangka. ”Ini kita ekspos, hasilnya sampai dengan Juli 2017 telah diamankan 1.834 tersangka dari 917 OTT. Diselamatkan barang bukti sebesar Rp17,6 miliar,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta.
Nominal uang yang diamankan termasuk jumlah yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan jumlah OTT dan jangka waktu pembentukan Saber Pungli. Hal ini disebabkan Satgas Saber Pungli tidak menyasar kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara hingga triliunan rupiah.
Menurut Wiranto, ada perbedaan antara kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kasus pungli yang menjadi kewenangan Saber Pungli. Satgas Saber Pungli lebih menargetkan pelaku pungutan liar di lingkungan masyarakat menengah ke bawah.
Baca Juga:
”Kenapa hasil sembilan bulan tidak sampai triliunan? Karena kalau kasus korupsi ada kerugian negara, sudah ada lembaganya. Tapi di sini tidak spesifik itu, tapi pungutan yang meresahkan masyarakat, misalnya pedagang kaki lima. Pungutan yang merugikan masyarakat ini yang disasar Saber Pungli,” ungkapnya.
Wiranto juga mengatakan, sejakberdiri, SaberPunglisudah menerima 31.110 pengaduan. Sementara instansi yang paling banyak mendapat pengaduan masyarakat adalah Kemendikbud, Polri, Kemenhub, Kemenkes, Kemenkumham, Kemendagri, Kemenag, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Keuangan, dan TNI.
Lalu, daerah yang paling banyak aduan masyarakat adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Lampung. Saber Pungli akan mempercepat pemberantasan praktik pungutan liar. Pihaknya juga telah mendapat instruksi dari Presiden Joko Widodo untuk menggunakan segala cara memberantas pungli yang meresahkan masyarakat.
Baca Juga:
Pengamat hukum Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis mengatakan, praktik jual-beli jabatan memang sudah lama terjadi. Karena itu, dibutuhkan ketegasan dari pemerintah. ”Jika praktik jual-beli jabatan yang masih berlangsung tidak segera dihapuskan maka yang terjadi jumlah pejabat yang tidak berkualitas akan semakin banyak,” paparnya.
Hal senada diungkapkan pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia Lisman Manurung. Menurut dia, praktik jual-beli jabatan sepertinya memang sudah lazim terjadi di sebagian besar daerah. ”Masalahnya hampir di semua daerah, di semua tempat lazim terjadi suap pengisian jabatan. Jika hampir semua pejabat publik melakukan itu, kualitas, ataupun kuantitas pelayanan berpotensi semakin buruk,” tukasnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)