JAKARTA - Pemerintah menetapkan peningkatan penerimaan perpajakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 sebesar 9,3% menjadi Rp1.609,4 triliun. Sedangkan outlook penerimaan pajak dalam APBN-P 2017 sebesar Rp1.472,7 triliun.
Guna mencapai target penerimaan pajak itu, pemerintah akan memaksimalkan peran Automatic Exchange of Information (AEoI) dan Undang-Undang Keterbukaan Data Nasabah Perbankan. Kendati memiliki dua senjata andalan, pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih menilai realisasi target penerimaan pajak akan sangat berat.
Berkaca dari kinerja penerimaan pajak dalam dua tahun terakhir yang tidak begitu cemerlang, Lana mengatakan, pemerintah perlu ruang tambahan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan. Salah satu yang bisa diandalkan adalah memperketat pajak pertambahan nilai (PPN).
"Dari angka masih mungkin dikejar, tapi kalau hanya mengandalkan dari AEoI dan UU data nasabah agak berat. Kalau kita bisa mengejar PPN kita tidak perlu mengandalkan dari AEoI," ujarnya saat dihubungi Okezone.
PPN sendiri adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
Dalam banyak transaksi, konsumen dikenakan jenis pajak ini. Kendati demikian, Lana masih ragu, apakah PPN benar-benar telah disalurkan dengan semestinya kepada negara.
"Kita setiap transasksi, mayoritas kan ada PPN-nya, dalam banyak transaksi kita membayar PPN. Pertanyaannya, PPN itu dibayarkan enggak ke pemerintah," tambah dia.
Dari PPN ini, lanjutnya, masih ada ruang sekira Rp200 triliun untuk penerimaan pajak. Dengan demikian, dapat memuluskan jalan pemerintah untuk mengumpulkan pajak sesuai dengan target yang dicanangkan.
"Kalau PPN masih bisa dikejar menambah Rp200 triliun, itu akan terbantu. Kalau hanya mengandalkan pajak penghasilan, dari AEoI, dari dana nasabah perbankan, kemungkinan itu masih berat untuk bisa dicapai tahun 2018," tutup dia.
(Martin Bagya Kertiyasa)