JAKARTA - Kelapa sawit merupakan komoditas utama ekspor Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, di tahun 2017 nilai ekspor produk kelapa sawit (USD23 miliar ) melampaui ekspor migas Indonesia (USD15 miliar).
Ekspor ini jauh di atas ekspor lima komoditas perkebunan Indonesia lainnya seperti karet, kakao, kopi, tebu, dan teh. Namun, saat ini industri kelapa sawit dihadapkan pada tantangan maraknya persepsi negatif di antara para pemangku kepentingan, baik yang berada di dalam maupun di luar Indonesia.
Director of Council of Palm Oil Producer Countries (CPOPC) Mahendra Siregar menjelaskan bahwa kelapa sawit adalah minyak nabati yang paling memenuhi ekspekatasi kriteria SDGs bila dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.
"Tanpa kelapa sawit akan sangat sulit melakukan pencapaian SDGs dan hal ini bukan hanya untuk Indonesia namun juga untuk seluruh dunia," kata Mahendra dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Rabu (19/9/2018).
Menurutnya, saat ini Pemerintah Indonesia telah mengambil posisi yang tegas dalam mengambil langkah-langkah tegas untuk memastikan industri sawit tidak mendapatkan diskriminasi dari pasar internasional.
Sementara itu, Staf ahli Menko Perekonomian Lin Che Wei menjelaskan bahwa adanya rencana Uni Eropa untuk phasing out biofuel berbasis kelapa sawit pada tahun 2021 adalah berdasarkan alasan-alasan sosial dan lingkungan utamanya kerusakan hutan.
"Keputusan Uni Eropa ini tidak datang tiba-tiba. Sudah sejak lama tekanan terhadap impor minyak sawit mendapat tekanan besar, utamanya dengan alasan-alasan lingkungan," jelasnya.
Untuk itulah sejak 2002, sebuah standar keberlanjutan yang dikembangkan bersama-sama oleh para pemangku kepentingan mulai digunakan dalam sektor sawit.
Standar itu dikenal dengan Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah standard sertifikasi sawit berkelanjutan yang bersifat sukarela, sesuai dengan nama kelompok pengembangnya. Sementara di Indonesia, sebuah sistem sertifikasi juga telah dikembangkan yaitu standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) di mana sejak 2009, ISPO telah dijalankan sebagai sebuah kewajiban.
“Saat ini, di bawah kepemimpinan Kemenko Perekonomian, sebuah upaya sedang dilakukan untuk membuat ISPO lebih banyak digunakan dan mendapatkan pengakuan internasional," katanya.
Dia menambahkan, dengan adanya sertifikasi keberlanjutan yang diakui dunia, pembedaan sawit baik dari sawit yang kurang baik dapat dilakukan dengan mudah. Konsumen dan pembeli minyak sawit di seluruh dunia juga dapat menentukan kebijakannya untuk hanya membeli minyak sawit yang baik.
Adanya sertifikasi keberlanjutan yang diakui dunia, ini sangat diperlukan karena menurut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), sektor kelapa sawit diperkirakan mampu mengurangi angka kemiskinan lebih dari 10 juta orang, dan minimal 1,3 juta orang di pedesaan mampu keluar dari garis kemiskinan berkat pertumbuhan sektor kelapa sawit.
Managing Director Sustainability and Strategic Stakeholders Engagement Sinar Mas Agribusiness and Food Agus Purnomo menjelaskan bahwa Perusahaan telah melakukan berbagai upaya dalam menerapkan praktek industri sawit yang berkelanjutan yang sejalan dengan tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Agus menambahkan bahwa salah satu capaian SDGs perusahaan adalah dalam hal penguatan kemitraan untuk pembangunan berkelanjutan (partnership for the goals).
“Kami mengajak para pemasok untuk bermitra dan bersama-sama menerapkan praktek berkelanjutan di industri kelapa sawit,” jelasnya.
(Dani Jumadil Akhir)