Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, belum mau buru-buru menanggapi pelemahan rupiah yang kemarin melewati level psikologis Rp15.000 per dolar AS. Dia mengakui belum mendapatkan informasi secara keseluruhan bagaimana rupiah bisa bergerak melemah seperti kemarin.
“Iya, itu memang secara itu menyentuh level psikologis. Tapi kan itu psikologis bukan realita,” ujar Darmin.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Joshua Pardede mensinyalir, melemahnya nilai tukar rupiah hingga batas psikologis, baru kemarin sebagai dampak dari memanasnya perang dagang antara AS dan China.
Selain itu, kenaikan harga minyak dunia juga memberikan andil cukup besar karena akan mengancam defisit transaksi berjalan domestik. Meski demikian, Joshua mengatakan bahwa penguatan dolar AS terjadi secara luas (broadbased) di luar Indonesia seiring dengan kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun.
Kendati demikian, Joshua memandang pelemahan rupiah ini hanya bersifat semen- tara. Kebijakan pengendalian impor dan juga upaya menambah devisa dari sektor pariwisata akan turut memperkuat nilai tukar Rupiah dalam beberapa waktu ke depan.
Hal itu juga ditambah penerapan transaksi valuta asing (valas) berjangka domestik atau domestic non-deliverable forward (DNDF) oleh BI sejak pekan lalu. Transaksi DNDF adalah transaksi derivatif valuta asing (valas) terhadap rupiah yang standar berupa transaksi forward (berjangka) dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman mengungkapkan, penerbitan transaksi DNDF bertujuan untuk memberikan alternatif bagi pelaku ekonomi dalam melakukan lindung nilai di pasar valuta asing domestik, melengkapi instrumen lindung nilai yang sudah ada saat ini.
“Hal ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan keyakinan bagi eksportir, importir, serta investor dalam melaku kan kegiatan ekonomi dan investasi melalui kemudahan tran saksi lindung nilai terhadap risiko nilai tukar Rupiah,” paparnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menuturkan, faktor global dan domestik samasama mendominasi pergerakan rupiah pada pekan ini.
Kenaikan harga minyak mentah hingga USD85 per barel atau melonjak 28% (ytd) dise bab kan oleh berkurangnya pasokan pasca boikot minyak Iran yang diserukan Presiden AS Donald Trump. Menurutnya, bagi negarane garanet importir minyak seperti Indonesia, naiknya harga minyak dapat menye bab kan defisit migas yang semakin lebar.
Hal ini mendorong permintaan dolar yang secara alamiah akan terus me ningkat. “Wacana kenaikan har ga BBM pun menjadi momok inflasi hingga akhir 2018,” ujarnya.
Senada di sampaikan oleh ekonom UGM Toni Prasetyan tono. Menurutnya, pelemahan rupiah yang menembus Rp15.000 disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, pasar merasa suku bunga acuan BI belum cukup atraktif untuk menjadi insentif bagi investor untuk memegang rupiah.
“Jika dihitung dari level terendahnya (FFR 0,25%), The Fed sudah menaikkan suku bunga sampai 200 bps, sedangkan BI baru 150 bps (dari 4,25% ke 5,75%),” ujarnya. (Dita Angga/Kunthi Fahmar Sandy/Ant)
(Dani Jumadil Akhir)