JAKARTA - Pengamat perpajakan menilai, meski nilai harta orang terkaya di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun berdasarkan data majalah Forbes terbaru, kontribusi konglomerat dalam negeri tercatat masih minim terhadap penerimaan pajak nasional. Kecilnya kontribusi para konglomerat tersebut diduga oleh masalah kepatuhan.
Menurut pengamat perpajakan DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji, berdasarkan data Ditjen Pajak tahun 2017, kontribusi mereka (konglomerat) hanya 0,8% dari total penerimaan pajak.
"Ini memprihatinkan karena di banyak negara justru mereka banyak kontribusinya terhadap penerimaan pajak atau paling tidak terhadap Pajak Penghasilan," ujarnya di Jakarta seperti dikutip Harian Neraca, Jakarta, Senin (17/12/2018).
Baca Juga: Kenaikan Kekayaan 50 Orang Terkaya RI Terjadi di Tengah Tekanan Rupiah
Di beberapa negara, menurut Kristiaji, kontribusi para konglomerat bisa mencapai 30-40% melalui PPh. Dia menduga, kecilnya kontribusi para konglomerat itu disebabkan oleh perkara kepatuhan. Pasalnya, berbeda dengan karyawan yang dipotong langsung setiap digaji, pajak untuk konglomerat membutuhkan keinsyafan pribadi masing-masing.
Meski demikian, Kristiaji mengakui jumlah pajak yang perlu dibayarkan konglomerat Indonesia yang menurut Forbes itu tidak otomatis naik, kendati kekayaan mereka bertambah nilainya.
"Enggak selalu, kekayaan bukan penghasilan sehingga bisa saja enggak naik," ujarnya. Menurut dia, pemerintah sejatinya tidak memajaki individu atas kekayaan, melainkan atas penghasilan. Meski, kekayaan bisa jadi adalah akumulasi dari penghasilan yang tidak dikonsumsi.
Sebelumnya Majalah Forbes mencatat aset bersih 50 orang terkaya Indonesia mencetak rekor baru dengan total kekayaan USD129 miliar atau naik USD3 miliar dari tahun lalu. Kenaikan nilai kekayaan itu ditunjang pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan pasar modal setahun terakhir yang tumbuh sebesar 4,4%.
Baca Juga: Total Harta 50 Miliarder RI Masih Kalah dari Kekayaan Bos Amazon
Kristiaji menegaskan Indonesia saat ini tidak mengenal pajak kekayaan. Di samping itu, apabila ada kenaikan nilai aset pajak yang dikenakan hanya untuk nilai akhirnya saja lantaran sistem perpajakan Indonesia masih belum menganut capital gain tax secara menyeluruh.
"Misalnya sahamnya naik, harusnya dilihat dari capital harga penjualan dikurangi harga perolehan. Tapi kan kalau di sini sifatnya final," ujarnya.
Dalam sistem perpajakan Indonesia, para orang kaya dikenai PPH 25 dan 29 yaitu PPh non karyawan, untuk pemilik usaha dan pekerja bebas.
"Mereka harus sukarela melaporkan, dan kalau dilihat dengan kontribusinya yang kecil, ini jelas ada masalah," tutur Kristiaji.
Baca Juga: Daftar 10 Orang Terkaya Indonesia, Siapa Saja yang Naik Kelas?
Selain soal kepatuhan, dia menyebut minimnya kontribusi para konglomerat terhadap pajak adalah lantaran pemerintah tidak menaruh perhatian khusus untuk mengejar pajak mereka.
Padahal orang kaya tersebut adalah orang-orang dengan akses yang lebih baik kepada konsultan, akses pasar keuangan, juga ke politik.
"Ini sebenarnya ada masalah di administrasi pajak atau kepatuhan bagi mereka. Ini tantangan yang harus ditangani pemerintah," ujarnya.
Di beberapa negara, para orang kaya memiliki penanganan khusus. Misalnya, untuk menangani pengusaha yang melakukan agressive tax planning, pemerintah membuat unit khusus untuk mereka.
Secara umum, menurut dia, pajak atas kekayaan di Indonesia pada prinsipnya terbagi ke dalam beberapa jenis. Misalnya saja ketika kekayaan itu ditahan, bisa dikenai pajak seperti Pajak Bumi dan Bangunan. Lalu pajak ketika aset itu diberikan tanpa transaksi seperti warisan atau hibah.
"Tapi kalau warisan dan hibah kan enggak dikenai pajak, padahal akumulasi kekayaan antar generasinya kan meningkat," ujarnya.
Selain itu adalah pajak ketika suatu aset dijual dan memperoleh nilai tambah. Namun, tidak semua transaksi di Indonesia mengenal capital gain tax melainkan final tax.
"Harusnya kalau nilainya naik harusnya pajak nambah, tapi kan tidak mencermati gain yang sebenarnya. Kalau final tarifnya relatif lebih kecil karena melihat harga terakhir," ujarnya.
Forbes baru-baru ini merilis enam dari sepuluh orang terkaya di Indonesia mengalami peningkatan kekayaan dibandingkan tahun lalu, termasuk Hartono bersaudara yang sudah menempati peringkat terkaya selama sepuluh tahun terakhir.
Tahun ini, total kekayaan Hartono bersaudara tercatat sebesar USD35 miliar, di mana sekitar 70% dari total kekayaannya berasal dari Bank Central Asia. Sementara itu, Susilo Wonowidjojo naik ke posisi dua dengan kekayaan sebesar USD9,2 miliar akibat meningkatnya harga saham perusahaan rokok Gudang Garam.
Pada peringkat ketiga versi Forbes, pendiri Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja, yang tahun ini kekayaannya berkurang sebesar USD500 juta menjadi USD8,6 miliar. Di posisi keempat Sri Prakash Lohia naik menjadi orang terkaya keempat dengan total kekayaan sebesar USD7,5 miliar seiring dengan peningkatan nilai saham Indorama Ventures, perusahaan petrokimia yang terdaftar di bursa Thailand.
(Dani Jumadil Akhir)