Selain itu, kegiatan dan produk yang ditawarkan tidak berizin karena niat pelaku adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari masyarakat. Terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyatakan kebijakan peminjaman teknologi finansial yang ada saat ini masih lemah dan belum mengatur secara adil antara regulator dan pelaku usaha.
“Mengapa pengawasan regulator lemah? Karena semacam ada pembiaran terhadap praktik pinjol (pinjaman online ) ilegal,” kata Tulus dalam seminar “Mencari Format Fintech Yang Ramah Konsumen” di Bursa Efek Indonesia, Jakarta.
Dia mengatakan sepanjang 2018 laporan permasalahan mengenai fintech menduduki peringkat ketiga setelah keluhan perbankan dan perumahan yang masuk ke YLKI. Keluhan utama yang sering diterima terkait penyalahgunaan data pribadi.
Tulus menyoroti sinergi antar regulator belum kuat, khususnya dalam penegakan hukum. Lemahnya pengawasan itu ditandai dengan banyaknya fintech ilegal meski OJK telah menindaknya.
“Memang kesalahan-kesalahan itu banyak kesalahan konsumen, tapi itu tidak bisa di pandang satu pihak semata. Tapi ada sisi hulu yang bermasalah,” kata dia.
Belum adanya regulasi yang kuat membuat kasus di sektor ini sulit untuk ditindak tegas. Tak jarang fintech ini menjadikan data pribadi sebagai jaminan dan teror bagi konsumen. Untuk itu, YLKI mendorong penguatan pengawasan oleh regulator.
Salah satu upaya untuk menekan kasus penyalahgunaan data nasabah ini dengan regulasi yang kuat melalui Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Di satu sisi, perlu juga penguatan literasi tentang keuangan bagi masyarakat agar me reka tidak menjadi obyek sapi perah dari layanan peminjaman uang.
“Konsumen tidak menyadari bahwa data pribadinya digunakan sebagai jaminan. Konsumen tidak membaca syarat dan ketentuan yang berlaku. Kalaupun membaca, konsumen tidak paham akan isi dan substansinya,” pungkasnya.
(Feby Novalius)