JAKARTA - Birokrat Eropa mengakui mereka lega karena Inggris keluar dari Uni Eropa. Jika masih menjadi anggota, mereka akan menghadapi prospek yang lebih sulit untuk membujuk blok yang berselisih itu menyetujui rencana pemulihan ekonomi pandemi yang ambisius secara politik untuk memperbaiki ekonomi yang lesu.
Bahkan tanpa Inggris, proposal hibah dan pinjaman USD850 miliar akan ditentang kuat oleh beberapa negara Eropa utara dan tengah.
Baca Juga: BUMN Terdampak Corona Disuntik Rp104,3 Triliun, Ada yang Bentuknya Utang
Uni Eropa sedang menuju perselisihan lain, yang mungkin akan membuat blok itu menuju persatuan politik dan fiskal yang lebih dekat, tetapi berisiko menimbulkan reaksi populis baru yang mengganggu seperti yang timbul akibat krisis migrasi tahun 2015.
Jacques Delors, mantan presiden Komisi Eropa, memperingatkan kurangnya solidaritas Uni Eropa menimbulkan bahaya besar bagi Uni Eropa. Demikian seperti dilansir VOA Indonesia, Jakarta, Selasa (9/6/2020).
Baca Juga: Bank Dunia Sebut Resesi Ekonomi akibat Covid-19 Terburuk sejak Perang Dunia II
Uni Eropa telah mengalami krisis sebelumnya - mulai dari dana talangan zona euro setelah krisis keuangan global tahun 2008 hingga krisis migrasi dan Brexit, tetapi beberapa orang khawatir virus corona bisa lebih destruktif karena membuat perselisihan antar tetangga.
(Dani Jumadil Akhir)