JAKARTA - Di era keterkaitan global yang semakin rumit, kebijakan swasembada dalam produksi beberapa komoditas pangan utama dinilai tidak akan dapat menjamin keterjangkauan seperti yang diharapkan pemerintah. Bahkan, langkah impor disebut menjadi jalan tengahnya.
“Kebijakan swasembada pangan tidak bisa menjamin keterjangkauan pangan, karena dalam dunia perdagangan global sekarang ini, impor pangan menjadi alternatif yang lebih mudah. Banyak faktor dalam produksi dan distribusi pangan domestik yang kurang efisien dan membuat biaya produksi menjadi tinggi,” ujar Head of Agriculture Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, Selasa (9/8/2022).
Aditya menjelaskan swasembada pangan, terutama untuk bahan utama seperti beras, menjadi program pembangunan pertanian pemerintah yang strategis untuk mencapai ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup.
BACA JUGA:Ada Perubahan Iklim, Luhut Minta BMKG Berperan Aktif Jaga Ketahanan Pangan RI
Sehingga dapat mencapai mutu bahan pangan yang baik serta mengandung nilai gizi yang tinggi.
"Indonesia memang berhasil mempertahankan swasembada beras dan jagung setidaknya dalam lima tahun terakhir, di mana impor hanya menyumbang sangat kecil dari kebutuhan domestik. Namun, produktivitas tanaman pangan cenderung stagnan dalam periode yang sama," jelasnya.
Selama masa swasembada beras tersebut, dia melihat produksi beras Indonesia memang berlebih berkat intensifikasi dan perluasan lahan.
Namun itu dicapai dengan upaya panjang dan pembiayaan besar.
Penekanan pada kuantitas juga mengakibatkan rendahnya kualitas beras.
Selain melalui swasembada, menurut Aditya, ketersediaan pangan yang terjangkau juga dapat dicapai dengan kombinasi produksi domestik dan impor atau dengan meningkatkan pendapatan rakyat untuk mendorong daya beli.