Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengapresiasi dan berterima kasih setinggi-tingginya atas penetapan UMP tahun 2023 yang berjalan dengan kondusif. "Penetapan ini adalah bentuk dukungan kita semua dalam menjaga daya beli masyarakat pekerja/buruh serta mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan," kata Menaker.
Namun, kenaikan UMP 2023 ini ditanggapi dingin oleh para buruh, seperti Presiden Partai Buruh Said Iqbal yang menilai kenaikan UMP 2023 DKI Jakarta masih kecil.
UMP 2023 di DKI Jakarta naik 5,6% menjadi Rp4.901.798,00 atau Rp4,9 juta.
Menurutnya, kenaikan UMP DKI 5,6% tidak akan bisa memenuhi kebutuhan buruh dan rakyat kecil di DKI.
Dia menyebut bahwa para buruh punya pengeluaran hingga Rp3,7 juta dalam satu bulan.
Rinciannya biaya sewa rumah Rp900 ribu per bulan, biaya transportasi dari rumah ke pabrik dan sebaliknya, dan saat hari libur bersosialisasi ke tempat kerabat memakan biaya kurang lebih Rp900 ribu.
Kemudian untuk makan tiga kali sehari menghabiskan Rp40 ribu jika ditot untuk makan menjadi Rp1,2 juta perbulan. Belum lagi biaya listrik bulanan Rp400 ribu dan biaya komunikasi yang mencapai Rp300 ribu.
"Jika upah buruh DKI Rp4,9 juta dikurangi Rp3,7 juta hanya sisanya Rp1,2 juta. Apakah cukup membeli pakaian, air minum, iuran warga, dan berbagai kebutuhan yang lain?Jadi dengan kenaikan 5,6% buruh DKI tetap miskin," kata Said Iqbal.
Selain itu, dirinya khawatir, rendahnya kenaikan UMP di DKI Jakarta akan berdampak kepada daerah lain, sebab Jakarta selama ini selalu menjadi parameter dalam mengambil kebijakan.
"Untuk itu, Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh mendesak agar UMP DKI direvisi menjadi sebesar 10,55% sebagai jalan kompromi dari serikat buruh yang sebelumnya mengusulkan 13%," katanya.
Tak hanya buruh, para pengusaha juga meradang dengan kenaikan UMP 2023. Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Sarman Simanjorang menilai, kebijakan ini akan berimbas negatif terhadap ekosistem dunia usaha tahun depan.
"Yang kita takutkan apa, kalau misalnya kenaikan UMP itu adalah di luar kemampuan dunia usaha, imbasnya ke ekosistem dunia usaha tahun depan," ujar Sarman.
Dampak yang pertama adalah pengusaha yang sebelumnya hendak merekrut karyawan pada 2023 akhirnya terpaksa mengerem rencana itu. Imbasnya kesempatan kerja bagi pengangguran bisa berkurang bahkan ekstremnya hilang sama sekali.
Kedua, bisa mendorong terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal kembali disejumlah industri. Pasalnya perusahaan terpaksa melakukan penghematan di tengah kondisi ekonomi global yang diprediksi kelam pada 2023.
Bahkan, kemungkinan akan banyak perusahaan yang pindah pabrik. Hal itu karena pengusaha tidak mau ambil resiko jika bertahan di provinsi yang mengharuskan menggaji karyawan dengan UMP tinggi.
"Katakanlah di Jawa Barat saja jomplang itu antara Bekasi, Tangerang, Garut, misalnya itu jauh UMP-nya. Itu sesuatu yang kita khawatirkan dalam hal ini," ucapnya.
Oleh karena itu, agar kondisi buruk tidak terjadi bagi para pengusaha dan juga pencari kerja, Sarman berharap besaran UMP disesuaikan dengan kemampuan dunia usaha.
Sebab, saat ini masih banyak industri yang belum pulih dari pelemahan ekonomi saat pandemi Covid-19. Di mana cash flow pengusaha belum sepenuhnya kembali normal.
Ya benar saja, sebelum dan usai UMP 2023 diumumkan, banyak perusahaan yang melakukan PHK massal, khususnya di perusahaan rintisan atau startup. Sebelumnya PHK massal terjadi di industri tekstil.
Seperti GoTo mengumumkan PHK 1.300 karyawan pada 18 November 2022, kemudian Ruangguru PHK ratusan karyawan hingga produsen air minum kemasan PT Tri Banyan Tirta Tbk (ALTO) yang melakukan PHK 145 karyawan.