JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023 menjadi sesuatu yang tengah dinanti-nanti. Pasalnya, banyak prediksi permasalahan global yang bisa terjadi di tahun depan.
Adapun International Monetary Fund (IMF) optimis kondisi ekonomi Indonesia di 2023 akan cerah.
Kemudian, Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto juga menilai pertumbuhan perekonomian Indonesia akan cukup stabil, walaupun tidak akseleratif.
“IMF sendiri sebetulnya memprediksi ekonomi 2023 itu di level global yaitu menurunnya pertumbuhannya sekitar 2,6%, begitu outlooknya. Untuk Indonesia sendiri diperkirakan bisa stabil, setidaknya sekitar 5%, 5,1% atau bahkan mungkin bisa lebih,” ujarnya dalam Special Dialogue Okezone, Senin (26/12/2022).
BACA JUGA:Bawa Kabar Kurang Enak, Sri Mulyani Sebut Ekonomi Indonesia Tahun Depan Lebih Rendah
Namun, dia menyebut meski ekonomi 2023 bisa cerah, tapi pertumbuhannya diprediksi lebih rendah dibandingkan outlook IMF dan pemerintah.
”Karena ya perkembangan terbaru dari ekonomi kita saat ini yang memang menunjukkan tanda-tanda perlambatan 2023 itu ada,” ungkapnya.
Alih-alih menyalahkan pandemi, menurut Eko justru penyebabnya berasal dari aspek non pandemi.
Di mana dia mengungkapkan itu karena masalah geopolitik yang masih terjadi karena perang Rusia-Ukraina.
"Masalah ekonomi global sebenarnya tidak akan mengurangi secara drastis porsi dari pertumbuhan ekonomi, namun dapat mengurangi permintaan, terutama pada bidang ekspor," jelasnya.
Berkurangnya permintaan pada produk-produk hilir dapat berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi.
”Misalnya taruhlah tekstil atau alas kaki, atau produk-produk lain yang di mana negara-negara maju ini mulai mengurangi karena tekanan inflasi yang tinggi di negara-negara yang menjadi mitra dagang kita,” bebernya.
Menurut Eko, mengatasi inflasi bisa dengan menaikkan suku bunga, walaupun sektor akan sedikit terhambat.
Kini, menurutnya Indonesia sendiri sudah berusaha mengimbangi negara maju.
Dalam kenaikan suku bunga, levelnya memang naik secara ekstrem, tetapi implikasinya tetap, atau bisa diartikan suku bunga.
”Meskipun pertumbuhan kredit itu mungkin bisa sekitar 10%, tetapi biaya untuk meminjamnya itu menjadi lebih mahal karena bunganya lagi naik, sehingga implikasinya juga akan mengarah pada harga-harga produk yang dijual oleh industri,” pungkasnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)