BALI - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa emisi gas rumah kaca dari sektor energi, khususnya PLTU batu bara telah diidentifikasi sebagai penyumbang utama emisi karbon secara global.
Menurut International Energy Agency, pembangkit listrik tenaga batubara menyumbang sekitar 38% dari emisi karbon dioksida (CO2) global dari energi pada tahun 2019.
BACA JUGA:
"Ketika kita membayangkan net-zero emission, tidak mungkin tentunya tanpa mengatasi masalah pembangkit listrik batubara ini. Fakta bahwa semua negara untuk berkembang dan maju pasti membutuhkan energi, namun semua negara sebenarnya masih mengandalkan bahan bakar fosil, termasuk batubara, masih menjadi tantangan," kata Sri dalam Southeast Asia Development Symposium (SEADS) 2023: Imagining A Net-Zero ASEAN di Nusa Dua, Bali pada Kamis (30/3/2023).
Di Indonesia, Sri mengatakan bahwa tantangannya lebih besar lagi karena Indonesia termasuk produsen batubara terbesar.
BACA JUGA:
Pembangkit listrik batubara Indonesia pun sebenarnya berkontribusi sebesar lebih dari 60% dari total bauran energi di Indonesia.
"Jadi untuk kita bisa mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih awal, tidak mungkin tanpa mengatasi masalah pembangkit listrik tenaga batubara ini," tambah Sri.
Dia juga menyebut bahwa negara-negara ASEAN sangat bergantung pada bahan bakar fosil untuk pembangunan ekonomi dan industri.
Bahan bakar fosil dalam hal ini menyumbang lebih dari 75% bauran energi pada tahun 2019.
"Energi terbarukan hanya menyumbang 14%. ASEAN meningkatkan kontribusi energi terbarukan hingga 23% pada tahun 2025. Indonesia juga memiliki ambisi yang sama," tambah Sri.
Untuk mencapai 23% bauran energi terbarukan ini, kawasan ini perlu berinvestasi hingga USD27 miliar atau setara Rp406 triliun dalam energi terbarukan setiap tahun. (Kurs: Rp15.063/USD)
"Namun dari 2016 hingga 2021, kami hanya menarik USD8 miliar per tahun untuk energi terbarukan, jadi kurang dari sepertiga kebutuhan aslinya. Di ASEAN, proporsi batubara pada tahun 2022 hampir 32% dari total pembangkit listrik negara ASEAN, dan di Indonesia lebih tinggi," kata Sri.
Jadi, dia menilai bahwa sangat penting bagi ASEAN untuk menangani, di satu sisi, kebutuhan akan keamanan energi tetapi juga pada saat yang sama, keterjangkauan dan keberlanjutan energi.
Ketika berbicara tentang keterjangkauan, yang akan diukur adalah harga energi yang terjangkau untuk masyarakat, industri, ekonomi, anggaran pemerintah, dan juga soal dukungan, termasuk dalam hal ini adalah subsidi.
"Bagi kami, merancang transisi energi itu sangat penting. Keterbatasan akses ke pasar modal internasional, kurangnya mobilisasi sumber daya dalam negeri, ini kemudian menciptakan tantangan tambahan untuk merancang mekanisme dan kerangka kebijakan transisi energi yang tepat," pungkas Sri.
(Zuhirna Wulan Dilla)